SEMINAR SKRIPSI


BAB I 
PENDAHULUAN

Bab ini membahas latar belakang masalah yang mendiskusikan rasional dasar dan gambaran umum penelitian. Selain itu, bab ini membahas juga rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, fokus penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Semua topik tersebut dipaparkan secara ringkas dan sistematis pada sub bab berikut.
A. Latar Belakang Masalah
Dalam proses pembelajaran bahasa Inggris pada konteks ESL/EFL, tidak dapat dipungkiri bahwa kelas merupakan tempat utama dimana peserta didik dipajankan dengan berbagai ragam input bahasa (target language). Disamping penerapan metode/teknik pembelajaran, aplikasi bahasa yang digunakan pendidik atau dikenal dengan istilah teacher talk (seterusnya TT) merupakan faktor utama penunjang kualitas proses dan hasil perkuliahan. Dengan kata lain, implementasi metode/teknik pembelajaran dan TT yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik diyakini dapat memfasilitasi pembelajaran secara optimal, meningkatkan pengetahuan, dan kemampuan bahasa mereka.
Secara khusus, TT digunakan pendidik untuk memfasilitasi dan menciptakan interaksi komunikatif di kelas. Ketika proses pembelajaran berlangsung, ada kecenderungan bahwa pendidik menggunakan berbagai ragam bahasa dan mengeksplorasi gaya berbicara bahasa Inggrisnya, seperti menyederhanakan, menerjemahkan, atau menggunakan alih kode (code-switching). Selain itu, modifikasi bahasa (speech modifications) juga sering dilakukan oleh pendidik untuk mencapai target pembelajaran yang telah dirancang, misalnya penggunaan volume, speed, pause, strength, repetition dan intonation.
Dengan cara tersebut, diharapkan peserta didik dapat mengamati (notice) input bahasa yang diberikan, menegosiasi makna, dan mempraktikkan bahasa yang dipelajari dengan merespon apa yang diinstruksikan. Disamping itu, penggunaan TT secara efektif dapat memfasilitasi kebutuhan belajar mereka untuk memahami informasi/pengetahuan yang diberikan serta dapat meningkatkan kemampuan epistemiknya secara optimal. Beberapa penelitian terkait dengan pemerolehan bahasa ke dua/bahasa asing menunjukkan bahwa TT mendominasi 70% bahasa di kelas dan berperan penting dalam perkembangan bahasa peserta didik.[1] Lebih lanjut, Chaudron menyatakan bahwa peranan TT tidak hanya sebagai sumber utama belajar bahasa, tetapi juga sebagai alat untuk mengajarkan target bahasa.[2] Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa TT berperan vital sebagai piranti pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran, mengelola, dan mengevaluasi proses serta hasil belajar peserta didik.
Berkaitan dengan penggunaan TT, Thornbury menjelaskan beberapa karakteristik bahasa yang dikategorikan komunikatif, antara lain: penggunaan referential questions, content feedback, speech modifications, dan negotiation of meaning.[3] Dikatakan bahwa ada atau tidak adanya aspek-aspek tersebut dalam proses pembelajaran akan mempengaruhi tingkat kualitas interaksi komunikatif di kelas.[4] Dengan kata lain, untuk menciptakan interaksi yang komunikatif, pendidik harus mampu mengeksplorasi bahasa yang digunakan, seperti menggunakan strategi bertanya secara bervariasi untuk menggali ide peserta didik secara efektif, merespon dan memberikan umpan balik fokus pada ide yang disampaikan, menggunakan modifikasi bahasa yang komunikatif ketika berbicara, menjelaskan materi, bertanya, atau dalam memberikan instruksi agar input yang diberikan mudah dipahami dan melakukan negosiasi makna dengan peserta didik.
Walaupun penggunaan TT telah terbukti berperan sentral dalam proses pembelajaran, akan tetapi pada kenyataannya sulit untuk menjelaskan pola/tipikal TT seperti apa yang efektif diterapkan di kelas, sehingga dapat memfasilitasi belajar peserta didik dan menciptakan interaksi yang komunikatif, produktif dan bermakna. Misalnya, pada matakuliah TEFL I, realitas di kelas menunjukkan bahwa untuk melibatkan peserta didik dalam sebuah interaksi yang komunikatif bukan merupakan pekerjaan yang mudah[5]. Dibutuhkan upaya yang keras agar peserta didik dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, merespon penjelasan dosen, inisiatif bertanya/menjawab, serta mempraktikkan bahasa dan pengetahuannya.
Hasil analisis sementara dari preliminary study yang dilakukan menunjukkan bahwa permasalahan rendahnya partisipasi peserta didik dalam proses perkuliahan bukan semata-mata karena metode atau strategy pembelajaran yang diterapkan kurang efektif. Ada kecenderungan bahwa masalah tersebut muncul karena pendidik kurang mampu menggunakan dan juga mengeksplorasi bahasa Inggris yang digunakan (TT) sesuai dengan kebutuhan (needs) dan tingkat kemampuan bahasa (proficiency) peserta didik. Walaupun beberapa metode/strategy telah diaplikasikan secara bervariatif, seperti cooperative learning, CLL, dan Project based learning, akan tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa proses pembelajaran TEFL I masih belum mampu memfasilitasi mahapeserta didik terlibat aktif menggunakan pengetahuan dan bahasanya untuk mempelajari materi perkuliahan, mendiskusikan, dan menerapkan materi yang didapat secara optimal.
Studi terkait dengan TT relatif sedikit dilakukan dan dipublikasikan di Indonesia. Sebagian besar studi dalam bidang pengajaran bahasa Inggris masih terfokus pada  penerapan sebuah metode/teknik pembelajaran terhadap prestasi belajar peserta didik, misalnya untuk melihat efektifitasnya maupun untuk meningkatkan kualitas proses atau hasil pembelajaran. Penelitian tentang TT, jika ada, masih terbatas untuk melihat pengaruhnya terhadap kemampuan berbahasa peserta didik atau mendeskripsikan kuantitas TT dan ST (students’ talk) dalam pembelajaran. Di sisi lain, pembahasan terkait dengan bagaimana fitur-fitur fungsi TT dalam memfasilitasi belajar peserta didik secara efektif dan menciptakan interaksi yang komunikatif di kelas belum mendapatkan perhatian khusus.
Berdasarkan rasional tersebut, penelitian ini akan mengeksplorasi dan mendiskripsikan pola penerapan Teachers’ Talk untuk membangun interaksi komunikatif dalam pembelajaran TEFL I di Prodi Tadris Inggris, STAIN Ponorogo. Masalah utama yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah bagaimana pendidik menggunakan speech modifications untuk menciptakan interaksi komunikatif dalam proses pembelajaran.
B. Rumusan Masalah
            Penelitian dalam bidang second language acquisition (SLA) menunjukkan bahwa interaksi di kelas yang melibatkan aktifitas input dan output berperan vital dalam pemerolehan bahasa peserta didik. Ellis menekankan bahwa pembelajaran yang komunikatif mempengaruhi tingkat pemerolehan bahasa.[6] Dari statement tersebut, tersirat bahwa hasil pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas bahasa yang digunakan pendidik dan jenis interaksi yang terjalin di kelas. Di lain pihak, pendidik memiliki peran sentral dalam menciptakan iklim interaksi di kelas. Untuk menciptakan interaksi yang komunikatif, pendidik harus mampu menerapkan bahasa secara efektif, misalnya penggunaan speech modification dalam proses perkuliahan.



Berdasarkan rasional tersebut, masalah dalam penelitian ini diformulasikan sebagai berikut:
1.        Modifikasi berbahasa apa sajakah yang digunakan dalam proses pembelajaran TEFL I?
2.        Bagaimanakah speech modifications diterapkan untuk menciptakan interaksi komunikatif dalam proses pembelajaran TEFL I?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan utama penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.        Untuk menginvestigasi tipe-tipe modifikasi bahasa yang digunakan pendidik dalam proses pembelajaran TEFL I.
2.        Untuk mengeksplorasi dan mendiskripsikan bagaimana pendidik menerapakan speech modification dalam membangun interaksi komunikatif dalam proses pembelajaran TEFL I.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada dosen bahasa Inggris, peserta didik, dan peneliti lanjutan. Bagi dosen, temuan penelitian ini akan menambah pemahaman dan pengetahuan mereka terkait penggunaan speech modifications yang efektif di kelas. Secara simultan, diharapkan dosen mampu meningkatkan kualitas berbahasanya sendiri dan mampu menggunakan TT yang efektif baik secara kuantitas maupun kualitas sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik agar mampu membantu mereka belajar dengan optimal, memberikan input yang komprehensif, dan menciptakan interaksi kelas yang komunikatif.
Bagi peserta didik, diharapkan bahwa penerapan modifikasi berbahasa  yang efektif oleh pendidik akan membantu mereka terlibat aktif dalam proses interaksi di kelas dan mempermudah mereka memahami materi yang dipelajari. Selain itu, peserta didik diharapkan termotivasi untuk menggunakan dan mempraktikkan pengetahuan dan skill bahasanya secara regular, baik di kelas maupun di luar kelas, dan pada gilirannya diharapkan mereka dapat meningkatkan kompetensi epistemiknya untuk mempelajari dan meningkatkan pengetahuan baru secara mandiri.
Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi peneliti lanjutan sebagai referensi dalam melakukan kajian penelitian lanjutan terkait dengan penggunaan modifikasi berbicara dengan analisa yang lebih mendalam terhadap variable-variabel yang krusial dengan menggunakan desain penelitian lain. Beberapa aspek yang belum tercakup dengan baik dalam studi ini dapat dieksplorasi dan disempurnakan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih rinci terhadap aplikasi bahasa pendidik dalam pembelajaran bahasa yang interaktif dan komunikatif.
E. Fokus Penelitian
Penelitian ini mendiskripsikan penggunaan bahasa dosen dalam proses pembelajaran TEFL I untuk mengeksplorasi fitur-fitur fungsi bahasa yang efektif dalam memfasilitasi belajar mahapeserta didik di prodi Tadris Inggris STAIN Ponorogo. Secara khusus, kajian penelitian ini difokuskan pada penggunaan modifikasi berbicara (speech modifications) dalam menciptakan komunikasi interaktif di kelas. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melibatkan seorang dosen pengampu mata kuliah TEFL sebagai subyek penelitian beserta dua kelas yang diajar yang terdiri dari 64 mahapeserta didik seperti dijelaskan secara rinci dalam subbab berikut. Lebih lanjut, penelitian ini merupakan studi kasus yang mana tentu saja memiliki kelebihan maupun batasan tertentu.
Melalui studi ini, diharapkan peneliti mampu mengeksplorasi secara mendalam penggunaan speech modifications untuk menciptakan interaksi komunikatif dalam proses perkuliahan TEFL I di STAIN Ponorogo. Disisi lain, karena studi ini hanya melibatkan subyek penelitian yang terbatas dan mereka relatif memiliki latar belakang yang homogen, oleh sebab itu temuan dalam penelitian ini mungkin tidak dapat digeneralisasi pada konteks pengajaran bahasa yang lebih luas. Akan tetapi, temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang nyata terkait dengan penerapan speech modifications dalam memfasilitasi belajar mahapeserta didik dan menciptakan interaksi komunikatif di kelas. Dengan demikian, diharapkan bahwa studi ini mampu memberikan gambaran riil dan masukan pada dosen bagaimana mereka menggunakan bahasa di kelas dalam memfasilitasi belajar mahapeserta didik yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan berbahasanya, sehingga mereka mampu mengembangkan potensi epistemik yang dimiliki.


F. Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan mendiskripsikan bagaimana pendidik menerapakan speech modification dalam membangun interaksi komunikatif dalam proses pembelajaran TEFL I. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan desain studi qualitatif dengan menerapkan pendekatan etnografi dalam pengambilan data. Desain penelitian tersebut digunakan untuk mendapatkan gambaran segala bentuk aktivitas yang terjadi selama proses interaksi di kelas ketika pendidik menggunakan TT dan untuk menangkap segala fenomena yang muncul ketika pendidik menggunakan modifikasi berbicaranya. Metode tersebut diaplikasikan untuk memberikan gambaran alami obyek pengamatan secara personal berdasarkan emically-oriented dengan tujuan untuk mendapatkan berbagai ragam/varian data dari berbagai perspektif dan keabsahan diskripsi realita sosial yang kompleks.[7] Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa desain penelitian yang digunakan dalam studi ini sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian ini yaitu untuk menginvestigasi pola penerapan Speech modifications untuk menciptakan interaksi komunikatif dalam pembelajaran TEFL I di STAIN Ponorogo.


2. Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini diambil dari aplikasi bahasa yang digunakan pendidik baik dalam bentuk kata, frasa, atau kalimat ketika menggunakan modifikasi berbicara dalam memfasilitasi proses perkuliahan TEFL I. Data tersebut diperoleh dari hasil transkrip ucapan pendidik yang direkam dan dari note-taking peneliti hasil observasi dan interview. Sumberdata utama adalah dari pendidik pengampu matakuliah TEFL I sebagai obyek dalam penelitian ini berdasarkan bahasa yang digunakannya baik verbal maupun non-verbal.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan untuk pengumpulan data yaitu melalui observasi kelas, audio-taping, dan interview. Observasi dilakukan peneliti untuk mencatat apa yang terjadi di kelas ketika pendidik menggunakan TT, khususnya dalam menggunakan modifikasi bahasa dengan peserta didik. Ketika melakukan observasi, semua aktivitas TT dicatat dengan menggunakan lembar observasi dan direkam. Kegiatan observasi dan perekaman dilakukan selama 3 (tiga) sesi perkuliahan (270 menit) dan hasil perekaman ditranskrip. Sedangkan interview dilakukan setelah kegiatan pembelajaran selesai dilakukan untuk memvalidasi hasil analisa observasi kelas. Interview dilakukan dengan teknik semi-structured face-to-face format dengan tujuan agar aktivitas yang dilakukan lebih fleksible, menciptakan ketertarikan dan keterlibatan interviewee, dan data yang diperoleh lebih mendalam.

4. Analisis Data
Data yang didapatkan dari TT dalam studi ini dianalisa melalui beberapa tahap untuk menjelaskan pola interaksi kelas yang terjadi. Pertama kali, rekaman data TT yang didapat ditranskrip dan hasil transkrip TT diidentifikasi dan dikategorikan. Data yang terkumpul dari transkrip terlebih dahulu dilakukan sorting dengan mengumpulkan informasi-informasi yang sama dengan data dari hasil catatan lapang sebelum data-data tersebut dianalisa. Setelah data disorting, kemudian data tersebut dianalisa dengan menggunakan model analisis interaksi yang diadopsi dari Moskowitz.[8] Model analisis tersebut digunakan untuk menganalisa perilaku pendidik apakah kurang atau sudah efektif dalam menerapkan variable yang diamati yang diindikasikan dengan apakah upaya pendidik dalam menggunakan TT dapat mempengaruhi perilaku belajar peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung. Setelah itu, data dari transkrip hasil perekaman dicocokkan kembali dengan data dari catatan lapang hasil observasi dan dilakukan interpretasi dengan berpedoman pada kedua pertanyaan penelitian. Tahap terakhir, hasil interpretasi tersebut divalidasi dengan data dari hasil interview dengan pendidik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian.



G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudahkan pembaca dan peneliti lain memahami proses penelitian ini, laporan penelitian disusun secara sistematis memuat beberapa aspek kajian. Sistematika laporan terbagi dalam 5 (lima) bab, yaitu pendahuluan, kajian pustaka dan hasil penelitian terkait, interaksi yang terjalin dalam pembelajaran TEFL, penggunaan modifikasi berbicara dalam proses pembelajaran dan penutup.  Secara rinci, deskripsi masing-masing bab dijelaskan sebagai berikut.
Bab pertama dalam laporan ini berisi tentang pendahuluan sebagai gambaran umum penelitian. Bab ini membahas latar belakang masalah yang mendiskusikan rasional dasar dan gambaran penelitian secara umum. Selain itu, bagian ini membahas juga rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, fokus penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Selanjutnya, Bab ke dua membahas kajian pustaka dan beberapa hasil penelitian terkait dengan penerapan TT sebelumnya sebagai pedoman dalam melakukan penelitian. Beberapa kajian pustaka diulas secara mendalam, seperti penggunaan teacher talk dalam membangun interaksi komunikatif di kelas ESL, modifikasi berbicara dalam proses pembelajaran, dan fitur-fitur modifikasi berbicara. Disamping itu, bab ini mendiskusikan beberapa penelitian terkait yang telah dilakukan sebelumnya secara lengkap dengan memaparkan jenis, topik, metode dan hasil penelitian yang didapat serta menegaskan titik perbedaan penelitian dengan beberapa penelitian sebelumnya sebagai dasar rasional penelitian.
Bab ketiga menyajikan paparan data hasil penelitian baik data utama maupun data pendukung untuk menggambarkan proses interaksi yang terjalin di kelas ketika pendidik menggunakan variasi TT. Bab ini membahas sejauhmana bahasa pendidik dapat menciptakan suasana komunikatif di kelas. Secara khusus, bab ini mendiskripsikan penggunaan TT, interaksi antara pendidik dengan kelas, interaksi antara pendidik dengan kelompok, interaksi antara pendidik dengan dengan peserta didik dan interaksi antar peserta didik di kelas. Di akhir bagian dalam bab ini, disajikan secara singkat ringkasan hasil presentasi temuan dan pembahasan.
Bab keempat membahas dan menganalisa data yang diperoleh dari modifikasi berbicara pendidik  dari kegiatan observasi dan interview yang dilakukan. Dalam bab ini, analisa hasil penelitian dibahas secara komprehensif dan mendalam untuk melihat fenomena tentang jenis-jenis modifikasi berbicara yang dilakukan pendidik serta bagaimanakah modifikasi berbicara dapat membangun interaksi komunikatif di kelas.
Bab terakhir adalah penutup yang memuat kesimpulan hasil penelitian. Dalam bab ini, kesimpulan hasil penelitian dibahas secara rinci untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagai masalah peneltian. Selain itu, bab ini juga menyuguhkan implikasi-implikasi lain serta saran-saran dari hasil penelitian.



BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN TERKAIT

Bab ini membahas kajian pustaka seperti penggunaan teacher talk dalam membangun interaksi komunikatif di kelas ESL, modifikasi berbicara dalam proses pembelajaran, dan fitur-fitur modifikasi berbicara. Disamping itu, bab ini mendiskusikan beberapa penelitian terkait dengan penggunaan modifikasi berbicara dalam proses pembelajaran.
A. Penggunaan teacher talk dalam membangun interaksi komunikatif di kelas ESL
Dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing/bahasa ke dua, input berperan penting terhadap perkembangan bahasa peserta didik. Krashen menyatakan bahwa pembelajaran hanya akan berlangsung jika peserta didik dapat mengakses input yang komprehensif.[9] Hipotesa tersebut berimplikasi dalam pengajaran yang mana bahasa pendidik (TT) merupakan input yang harus dapat dipahami oleh peserta didik dalam berbagai bentuk/ragam dan dalam kuantitas yang sesuai dengan kebutuhan belajar mereka. Hal tersebut dikarenakan TT berpengaruh terhadap gaya belajar peserta didik dan output bahasa yang dihasilkan peserta didik, serta interaksi yang tercipta di kelas. Akan tetapi, karena masing-masing peserta didik memiliki perbedaan tingkat kompetensi linguistik, disarankan bagi pendidik untuk memberikan input yang mudah dipahami secara natural agar mereka mampu menerima input tersebut sesuai dengan tingkatan kompetensi bahasa peserta didik.
Dilain pihak, Long dan Sato menyatakan bahwa input yang komprehensif berperan penting dalam pembelajaran, akan tetapi pemberian input saja belum cukup dan tidak menjamin peserta didik mampu pemerolehan bahasa/pengetahuan secara optimal.[10] Agar peserta didik mampu memperoleh bahasa, mereka harus dilibatkan dan diberikan kesempatan yang luas dalam proses negosiasi makna ketika mereka terlibat dalam percakapan. Gass menjelaskan bahwa negosiasi makna akan meningkatkan wawasan dan pemahaman peserta didik pada berbagai fitur-fitur bahasa yang mereka pelajari (target language), serta peserta didik akan mendapatkan umpan balik dari pendidik terhadap output bahasanya.[11]
Berdasarkan teori-teori tersebut, dapat dijelaskan bahwa ada perbedaan pandangan terhadap pengaruh jenis interaksi yang ada di kelas yang berdampak pada pemerolehan bahasa peserta didik. Akan tetapi, kedua teori tersebut saling melengkapi dan berdampak besar terhadap pola pengajaran bahasa pendidik di kelas. Implikasinya adalah pendidik diharapkan mampu memberikan input yang dapat dipahamai (comprehensible input) dalam pembelajaran, mampu menggunakan bahasanya dan memfasilitasi pemahaman peserta didik melalui negosiasi makna jika terjadi miskomunikasi antar mereka. Disamping itu, diharapkan pendidik selalu memberikan kesempatan yang luas bagi peserta didik untuk berlatih menggunakan bahasa target untuk tujuan komunikatif dan memfasilitasi mereka berpartisipasai aktif dalam berbagai aktivitas komunikatif, sehingga mereka mampu meningkatkan unjuk kerja dalam menggunakan fungsi-fungsi bahasa yang komunikatif pula.
Secara khusus, teacher talk (TT) memiliki peran penting dalam proses pembelajaran sebagai piranti yang digunakan pendidik dalam mengimplementasikan rencana pembelajaran dan mencapai tujuan pembelajaran. Chaudron menyatakan bahwa bahasa yang digunakan pendidik tidak hanya berperan sebagai obyek pelajaran, tetapi juga sebagai media dalam mencapai tujuan pembelajaran.[12] Senada dengan opini tersebut, Nunan menjelaskan bahwa TT sangat krusial tidak hanya untuk mengorganisasi pembelajaran di kelas, akan tetapi juga dalam proses pemerolehan bahasa ke dua.[13] Statement tersebut menyiratkan bahwa TT berperan penting dalam pengelolaan dan organisasi kelas karena bahasa yang digunakan pendidik berdampak pada berhasil atau tidaknya pendidik mengaktualisasikan lesson plan. Di sisi lain, TT berpengaruh terhadap pemerolehan bahasa ke dua karena TT berfungsi sebagai sumber utama input bahasa target yang diterima peserta didik, sehingga keberhasilan belajar peserta didik sangat tergantung apakah input yang diberikan pendidik (TT) bisa dipahami atau tidak.
Akan tetapi, perlu dipahami bahwa tidak semua TT dapat dikatakan efektif mampu memfasilitasi peserta didik aktif belajar bahasa di kelas secara komunikatif. Komunikatif TT tidak identik dengan kuantitas bahasa yang digunakan oleh pendidik di kelas. Bukan berarti kalau pendidik selalu menggunakan bahasa Inggris dan menggunakan strategi komunikatif di kelas, dia sudah menggunakan bahasanya secara komunikatif dan mampu menciptakan interaksi di kelas. Artinya, tidak semua tipe TT yang digunakan di kelas menjamin terciptanya interaksi yang komunikatif dalam proses pembelajaran. Sejalan dengan opini tersebut, Cullent menyarankan bahwa pendidik harus memperhatikannya tidak hanya berapa banyak intensitas penggunaan TT, akan tetapi juga harus melihat efektifitas penggunaannya dalam memfasiltasi dan menciptakan interaksi komunikatif di kelas, seperti jenis pertanyaan yang diberikan, modifikasi berbicara yang digunakan, atau cara pemberian umpan balik ketika merespon kesalahan yang dibuat peserta didik.[14]
B. Modifikasi Berbicara dalam Proses Pembelajaran
Salah satu fitur teacher talk untuk menciptakan kondisi kelas yang komunikatif adalah penerapan modifikasi berbicara. Modifikasi berbicara adalah salah satu strategi yang digunakan oleh pendidik dalam memfasilitasi belajar peserta didik dengan cara mengubah atau menyesuaikan bahasa yang digunakan sesuai dengan kebutuhan belajar dan kemampuan peserta didik untuk mencapai target pembelajaran yang lebih baik. Dengan memodifikasi bahasa yang digunakan, diharapkan peserta didik mampu memahami materi yang diberikan dengan lebih mudah dan mereka dapat lebih aktif berinteraksi di kelas dengan menggunakan bahasa target. 
Pendidik diharapkan mampu menggunakan berbagai ragam bahasa dan mengeksplorasi gaya berbicara bahasa Inggris yang diucapkan agar peserta didik mampu memahami informasi/konsep materi yang diajarkan. Richards menyatakan bahwa modifikasi berbicara bisa dilakukan dengan menggunakan kata yang sederhana (lexis), kalimat-kalimat simple, pelafalan kata yang jelas, menggunakan alih kode (code-switching).[15] Selain itu, memodifikasi berbicara juga sering dilakukan dalam proses pembelajaran, misalnya penggunaan volume, speed, pause, strength, repetition dan intonation. Dengan cara tersebut, diharapkan peserta didik dapat mengamati (notice) input bahasa yang diberikan, menegosiasi makna dengan pendidik dan teman sejawatnya, dan mempraktikkan bahasa yang dipelajari dengan merespon apa yang diinstruksikan pendidik.
C. Fitur-fitur Modifikasi Berbicara
Modifikasi berbicara dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara. Chaudron mengklasifikasikan modifikasi bahasa yang dilakukan pendidik dalam proses pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa ke dua atau bahasa asing dalam beberapa domain, antara lain fonologi, timing, leksis, sintaksis dan wacana[16]. Secara rinci, Chaudron mendiskripsikan strategi-strategi yang diaplikasikan pendidik dalam memodifikasi bahasanya dalam proses belajar-mengajar. Beberapa strategi yang umumnya digunakan oleh pendidik dalam memodifikasi berbicaranya antara lain: (a) pada aspek fonologi, yaitu modified pronunciation; (b) aspek timing: rate of speech, pauses, prosody; (c) aspek leksis: Preferred use of basic vocabulary items dan Preferred use of high frequency vocabulary items; (d) aspek sintaksis: length of utterance, subordination, markedness, grammaticality, dan sentence type distribution; dan (e) pada aspek wacana: framing moves dan self- repetition. Secara rinci, penjelasan terkait dengan taksonomi modifikasi berbicara diilustrasikan seperti terlihat pada bagan berikut.
Table 1 A taxonomy of speech modifications
Domain
Technique
Explanation
Phonology
Modified pronunciation
Use of a simplified, standard or even exaggerated pronunciation with fewer contractions and reductions, reducing the attentive and cognitive loads  for learners. For example, "Tomorrow is a holiday. What will you do tomorrow ?", rather than "Tomorrow's a holiday. What ya gonna do tomorrow ?"
Timing
Rate of speech
Measured in words per minute (wpm), reduced rate of speech is assumed to enhance comprehensibility by reducing cognitive load, giving learners more time to process the teacher's input. It has also been suggested that it gives clearer segmentation of structures
Pauses
Both length and frequency of pauses influence speech rate but may also act independently to highlight specific (usually more difficult) words, reducing not only cognitive but also attentive load. For example, "The government.........in the UK changes every four or five years".
Prosody
Peculiar to storytelling or poetry reading, these alter the beat or rhythm of input. This may not necessarily improve comprehension and may actually have the opposite effect from reduced rate of speech.
Lexis

Preferred use
of basic
vocabulary
items.
Avoidance of more advanced language types such as idioms, colloquialisms ("tired" rather than "dead beat") and abstract nouns ("Mitsubishi" instead of "the company"). This is thought to enhance comprehensibility by reducing the quantity and degree of difficulty of input to which learners must attend.
Preferred use
of high
frequency
vocabulary
items.
Use of words that are more common (and therefore, presumably more familiar to students), so reducing cognitive load. For example, "What time do you go home ?", instead of "What time do you return ho
Syntax

Length of
utterance
Measured variously as words per utterance, sentence or T-unit. Shorter utterances are, not surprisingly, considered to be easier for learners to comprehend. For example, "I visited Osaka on Sunday." is less taxing than "Well, on Sunday I had nothing to do so I thought I'd go to Osaka."
Subordination
A reduced use of subordinate clauses, making each T-unit shorter (so presumably more comprehensible
Markedness
The degree to which unmarked (i.e. conspicuous or frequently occurring) elements are used as opposed to marked (inconspicuous or infrequently occurring) elements. Predominant use of unmarked elements may aid comprehension as learners acquire these more easily. For example, "I come from England." may be more comprehensible to Japanese L2 English learners than "I am from England." because the verb come is conspicuous by virtue of its tense (Japanese use the past tense).
Grammaticality
The use of (usually) grammatically correct sentence fragments rather than well formed sentences, aiding comprehension. For example, "I take my friend for dinner tonight", avoiding the more advanced use of 'will'.
Sentence type
distribution
The differential use of declarative, interrogative and imperative statements is listed as a syntactical modification but it is unclear whether this technique is a deliberate strategy on the part of the teacher to aid comprehension or whether the comparative frequencies of these sentence types are more a function of the context or pedagogical aims of the lesson

Discourse
Framing moves
Using learners' understanding of a known experience or situation to assist in the comprehension of something new. Effective use of this technique would require knowledge of the learners' experiential base. For example, if teaching 'the best' one might use video footage of the winner of the annual sumo championships.
Self- repetition
Repetition of an utterance (either unchanged or rephrased) is assumed to give learners more chance to process the input by providing another opportunity to catch words they didn't comprehend the first time. It may also aid comprehension by giving the learner more time to process the input.


Diadaptasi dari Chaudron (1988: 54-86).

1. Modifikasi Pelafalan
Seperti yang dikatakan Chaudron[17], ada kecenderungan bahwa pendidik bahasa Inggris dalam konteks EFL/ESL memperjelas artikulasi dan pelafalan suaranya dan juga memperlambat atau memperjelas aksen bicaranya agar mudah dipahami oleh peserta didik. Lebih lanjut, dikatakan bahwa hampir sebagaian besar pendidik juga memodifikasi bicaranya dengan cara menaikkan intonasi dan membuat penekanan-penekanan intonasi pada kata-kata tertentu untuk membantu peserta didik memahami materi yang diajarkan. Dalam hasil penelitiannya terkait dengan penggunaan speech modifications, ditemukan bahwa para pendidik sering menggunakan pelafalan berbicara yang disederhanakan, standar, dan disesuaikan dengan situasi pembelajaran agar mengurangi dampak psikologi terhadap perkembangan belajar peserta didik. Dengan kata lain, ketiga jenis modifikasi berbicara tersebut, simplified, standard, dan exaggerated, merupakan piranti pendidik untuk memfasilitasi belajar peserta didik dan mengurangi dampak negatif secara psikologis terhadap motivasi peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran.
2. Jeda
Penggunaan jeda dalam berbicara juga sering dilakukan dalam proses belajar-mengajar di kelas. Chaudron[18] menyatakan bahwa jeda merupakan salah satu modifikasi berbicara yang mana pendidik memperlambat atau menghentikan berbicaranya dalam waktu tertentu agar ujaran pendidik dapat membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, penggunaan jeda oleh pendidik baik dalam segi jumlah maupun lama penggunaanya diyakini dapat membantu peserta didik untuk meningkatkan pemahaman dan meretensi informasi-informasi/pengetahuan yang diberikan pendidik. Secara umum, pendidik cenderung sering menggunaan jeda dalam berbicara ketika memfasilitasi proses pembelajaran di kelas. Lebih lanjut, jeda biasanya juga dilakukan pendidik dalam bentuk wait time yaitu pendidik berhenti berbicara setelah memberikan pertanyaan untuk menunggu respon dari peserta didik dan sebelum mengajukan sebuah pertanyaan lanjutan atau menunjuk salah satu peserta didik untuk menjawab. Dengan cara demikian, diharapkan peserta didik memiliki kesempatan yang cukup untuk memproses pertanyaan dan mempersiapkan pertanyaan atau respon dari pendidik.
3. Penggunaan kosa kata dasar dan umum
Dalam konteks pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing/ bahasa ke dua, pendidik cenderung menyukai penggunaan kosa kata dasar yang sederhana dan biasa didengar oleh peserta didik ketika berbicara dengan mereka di kelas. Pendidik terlihat sangat jarang menggunakan kata atau frasa yang sulit, menghindari penggunaan idiomatik, dan kata-kata pasif atau abstrak. Dengan kata lain, mereka cenderung memilih kata-kata yang netral atau kata-kata yang familiar didengar oleh peserta didik yang diajar sesuai dengan kemampuan mereka agar mudah dipahami.
4. Grammar
Dalam proses pembelajaran, pendidik juga menggunakan modifikasi bahasa dalam tataran penggunaan tata bahasa. Penggunaan bahasa yang formal di kelas biasa digunakan selama proses pembelajaran, akan tetapi dalam situasi tertentu pendidik acapkali memakai fragmentasi kalimat-kalimat ketika berbicara untuk memfasilitasi belajar peserta didik. Penggunaan kalimat yang tidak baku kadang terjadi dalam bentuk penghilangan kata-kata tertentu, misalnya penghilangan kopula, subyek, obyek, kata ganti, artikel dan sebagainya.


5. Framing moves
Modifikasi bahasa selanjutnya adalah dalam bentuk framing moves. Dalam penggunaan bahasa di kelas, framing moves juga sering terjadi yang mana pendidik mencoba menstruktur interaksi kelas dengan menggunakan pemahaman peserta didik misalnya sebuah pengalaman atau situasi yang biasa terjadi sebagai basis tindakan kegiatan untuk memfasilitasi mereka memahami sesuatu pengetahuan yang baru. Dengan katalain, framing move digunakan pendidik untuk membantu atau memfasilitasi peserta didik memahami materi baru dengan mengkaitkan pengetahuan atau pengalaman-pengalaman mereka sebelumnya.
6. Self-repetition
Modifikasi berbicara selanjutnya adalah dalam bentuk pengulangan kata atau kalimat yang telah diucapkan pendidik selama proses interaksi kelas berlangsung. Urano menjelaskan bahwa ada tiga jenis pengulangan yang dilakukan sebagian besar pendidik ketika mengajar di kelas, antara lain pengulangan dalam bentuk yang sama (exact repetition), pengulangan dengan memperluas isi pertanyaan (expansion, dan dalam bentuk paraphrase atau penggunaan struktur kalimat yang berbeda dengan sifat pertanyaan sama (paraphrase).[19] Penggunaan pengulangan kata atau kalimat ketika berbicara diyakini banyak ahli sangat membantu peserta didik dalam belajar bahasa Inggris karena mereka memiliki kesempatan yang cukup untuk memproses informasi yang disampaikan dan mengikuti model pembelajaran yang diberikan oleh pendidik.
D. Kajian Penelitian Terkait Penerapan Modifikasi Berbicara
Beberapa penelitian terkait penerapan modifikasi berbicara pendidik dalam proses pembelajaran bahasa Inggris dalam konteks ESL/EFL telah dilakukan. Untuk melihat secara mendalam pengaruh penggunaan kecepatan berbicara terhadap pemahaman peserta didik, Kelch menguji kecepatan berbicara yang digunakan pendidik dalam proses pembelajaran bahasa Inggris dalam konteks ESL. Hasil analisa menunjukkan bahwa penggunaan modifikasi bahasa pendidik dengan kecepatan berbicara pelan dan artikulasi jelas, pelafalan vokal yang jelas dengan batas antar kata yang jelas pula dapat dapat memfasilitasi pemahaman peserta didik. Disisi lain, modifikasi bahasa dalam aspek sintaksis disimpulkan tidak memberikan dampak signifikan terhadap pemahaman peserta didik jika tidak disertai dengan penggunaan kecepatan berbicara yang lambat[20].
Chaudron menginvestigasi cara berbicara pendidik ESL dalam jangka waktu yang relatif lama.[21] Dalam studinya, disimpulkan bahwa terdapat beberapa strategi yang digunakan dalam modifikasi bahasa sebagai berikut: 1) tingkat berbicara cenderung lambat, 2) penggunaan jeda lebih sering dan lama, 3) pengucapan cenderung diperjelas dan disederhanakan, 4) kecenderungan penggunaan kosakata dasar, 5) tingkat subordinasi lebih lambat, 6) lebih dugunakan kalimat deklaratif dan pernyataan daripada pertanyaan, dan 7) pengulangan kata/frasa lebih sering.
Selain itu, Griffiths mengamati hubungan antara laju berbicara yang digunakan pendidik dengan kemampuan mendengarkan peserta didik dalam konteks ESL. Dalam penelitiannya yang pertama Griffiths meneliti pengaruh dari tiga tipe kecepatan berbicara terhadap pemahaman peserta didik dengan tingkat kemampuan bahasa lower-intermediate di Jepang[22]. Hasil studi yang dilakukan menunjukkan bahwa kecepatan berbicara pendidik secara pelan lebih dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman peserta didik, dan sebaliknya penggunaan bahasa secara cepat berakibat pada pemahaman peserta didik berkurang. Penelitian lanjutan oleh Griffiths menunjukkan bahwa pandangan konvensional penggunaan bahasa yang normal terhadap peserta didik yang memiliki tingkat penguasaan bahasa rendah perlu dipertanyakan karena ditemukan fakta bahwa tingkat kecepatan berbicara yang pelan justru lebih membantu mereka dalam memahami materi pembelajaran[23].
Lebih lanjut, Owen dalam studinya “Do teachers modify their speech according to the proficiency of their students?” meneliti bagaimana pendidik memodifikasi bahasanya berdasarkan tingkat kemampuan peserta didik[24]. Dalam penelitian tersebut, Owen melibatkan dua kelas sebagai responden yang mengambil matakuliah pembelajaran EFL di UK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyek dengan tingkat kompetensi bahasa yang baik cenderung menggunakan teacher talk dengan kuantitas tinggi, mengurangi waktu dan kesempatan bagi peserta didik untuk berbicara di kelas, lebih menggunakan lexical content, menggunakan kalimat-kalimat yang panjang, sering menggunakan jeda untuk memfasilitasi belajar peserta didik, berbicara dengan cepat, sering menggunakan question-tag dan jarang menggunakan kalimat imperatif.
Dalam studi lainnya, Lin meneliti penggunaan teacher talk oleh pendidik bahasa Inggris dengan penutur natif dan penutur non-natif yang mengajar di kelas EFL[25]. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat tujuh strategi yang digunakan oleh para penutur baik natif maupun nonnatif dalam memodifikasi bahasanya, antara lain modifikasi pelafalan, jeda, penggunaan kosakata yang familiar bagi peserta didik, subordinasi, distribusi jenis-jenis kalimat, pengulangan, alih kode dan pengejaan.
Giouroukakis meneliti beberapa praktik pembelajaran bahasa Inggris yang dilakukan oleh beberapa pendidik ESL[26]. Dalam studinya, disimpulkan bahwa pendidik secara intuitif memodifikasi bahasa yang digunakan dalam proses pengajaran baik dalam segi fonologi, morfologi, sintaksis dan wacana. Mereka menggunakan berbagai modifikasi bahasa seperti memperjelas pemakaian artikulasi, membuat serangkaian jeda dalam berbicara, memperlambat kecepatan berbicara, dan menggunakan volume berbicara yang keras dalam proses pembelajaran. Dalam aspek morfologi, para pendidik cenderung menggunakan berbagai kosakata dasar untuk memfasilitasi peserta didik memahami isi materi yang diberikan. Lebih lanjut, modifikasi pada aspek sintaksis seperti penggunaan kalimat yang singkat, menghindari penggunaan kalimat kompleks, pengunaan kalimat simple present dalam berbicara, dan penggunaan struktur kalimat yang baik. Disamping itu, modifikasi penggunaan wacana dalam proses pembelajaran dikarakteristikkan dengan penggunaan first person reference, teacher initiated moves, conversational frames dan self repetition.
Dari paparan hasil penelitian-penelitian di atas, nampak jelas bahwa pendidik memodifikasi bahasa yang digunakan ketika berbicara di dalam kelas. Modifikasi terjadi baik dalam aspek fonologi, timing, leksis, sintaksis maupun wacana. Penggunaan modifikasi berbicara secara umum ditujukan untuk memfasilitasi pemahaman peserta didik dalam proses belajar untuk mencapai target pembelajaran yang diinginkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa pendidik cenderung menyesuaikan cara berbicara di kelas, misalnya dengan memperjelas pelafalan, menyederhanakan ujaran ataupun dengan memperlambat dan meningkatkan volume suara agar sesuai dengan taraf perkembangan kemampuan peserta didik dan kebutuhan belajar mereka.
Modifikasi berbicara sifatnya sangat kontekstual dan situasional. Artinya adalah modifikasi bahasa pendidik sangat lazim terjadi dan bahkan sangat diperlukan untuk membantu meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap materi yang diberikan. Dengan kata lain, penggunaan modifikasi pendidik bisa jadi berbeda dan menyesuaikan antara satu kontek kelas dengan tempat lainnya, bahkan antara satu waktu ke waktu lainnya. Dari paparan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan modifikasi bahasa pendidik berperan vital dalam memfasilitasi pemahaman peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian terkait dengan penerapan modifikasi berbicara di Prodi Tadris Inggris, STAIN Ponorogo khususnya pada matakuliah TEFL I perlu dilakukan. Melalui studi ini, diharapkan pemahaman dan pengetahuan terkait penggunaan speech modifications yang efektif diterapkan dalam pembelajaran TEFL dapat diinvestigasi dan didiskripsikan secara mendalam. Sehingga, dengan pelaksanaan penelitian ini diharapkan dosen mampu menggunakan TT yang efektif baik secara kuantitas maupun kualitas, khususnya mampu menerapkan modifikasi berbicara yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik agar dapat membantu mereka belajar dengan optimal, memberikan input yang komprehensif, dan menciptakan interaksi kelas yang komunikatif.



BAB III
INTERAKSI YANG TERJALIN DALAM PROSES
PEMBELAJARAN TEFL

Bab ini menyajikan paparan data hasil penelitian baik data utama maupun data pendukung untuk menggambarkan proses interaksi yang terjalin di kelas ketika pendidik menggunakan variasi TT. Secara khusus, bab ini mendiskripsikan interaksi antara pendidik dengan kelas, interaksi antara pendidik dengan kelompok, interaksi antara pendidik dengan peserta didik dan interaksi antar peserta didik di kelas.
A.  Interaksi Antara Dosen dengan Kelas
Berdasarkan observasi kelas selama proses penelitian berlangsung, teridentifikasi beberapa tipe interaksi yang terbangun, antara lain interaksi antara dosen dengan kelas, dosen dengan group, dosen dengan mahasiswa, dan mahasiswa dengan mahasiswa. Jenis-jenis interaksi tersebut muncul selama proses pembelajaran TEFL. Interaksi kelas diwarnai dengan berbagai aktifitas kolaboratif, seperti diskusi mahasiswa secara berpasangan, diskusi dalam kelompok kecil, dan diskusi kelas secara klasikal. Dari penerapan aktifitas kolaborasi tersebut, dapat dikatakan bahwa mahasiswa memiliki kesempatan luas untuk saling bekerjasama dalam mendiskusikan sebuah permasalahan dalam pembelajaran TEFL serta memberikan motivasi bagi mereka untuk mempraktikkan bahasa Inggris yang dimilikinya. Dalam laporan hasil penelitian ini, masing-masing jenis interaksi yang terbangun di kelas tersebut diulas dan dianalisa secara lebih rinci dalam sub bab berikut ini untuk melihat keterkaitan antar tiap jenis interaksi serta pengaruhnya terhadap penguasaan materi dan penggunaan bahasa Inggris mahasiswa.
Hasil observasi menunjukkan bahwa interaksi antara dosen dengan kelas terjadi ketika dosen berupaya untuk memberikan intruksi kepada mahasiswa untuk mengerjakan suatu tugas, mengarahkan mereka, atau memberikan intruksi kepada mereka dalam belajar. Dalam interaksi yang terbangun antara dosen dengan kelas, mahasiswa terlihat belum mampu memberikan respon terhadap tugas yang diberikan dosen secara optimal. Mereka masih terlihat pasif dan jarang berinisiatif mencoba menjawab atau mengajukan pertanyaan yang diberikan dosen secara mandiri. Sebagian besar dari mereka bahkan tidak mau merespon penjelasan dosen kecuali ketika dosen meminta mereka menjawab suatu pertanyaan yang diberikan secara individu. Dengan kata lain, kontribusi kelas dalam proses komunikasi masih rendah.
Dalam interaksi yang terbangun antara dosen dengan kelas, sering terlihat kelas tidak memberikan respon terhadap penjelasan atau pertanyaan yang diberikan dosen. Sikap pasif yang ditunjukkan mahasiswa tercermin dalam contoh kutipan berikut (1).
(1)
T
:
Lastly, Reading, writing and // grammar often dominate the learning process. Well, what’s your opinion about the application of this method? Ya..what’s the weakness of this?

SS
:
…(only keep silent)

T
:
Yes..yes…raise your hand, please? Come on.

SS
:
…(no response)

T
:
Ok, Speaking is not greatly emphasized in teaching by using this method. What is the effect of this towards the students’ competence in communication?

SS
:
… (no response)

Kutipan di atas memaparkan situasi dimana kelas tidak memberikan respon terhadap penjelasan atau pertanyaan dosen. Walaupun dosen telah memberikan paparan cukup rinci serta mengulangi penjelasan yang diberikan secara pelan, tetap saja respon kelas masih minim. Hal tersebut sering dijumpai khususnya ketika mahasiswa tidak memiliki cukup pengetahuan atau pemahaman terhadap masalah yang ditanyakan dosen. Pada situasi ini, mungkin terasa berat bagi mahasiswa untuk mencoba memberikan masukan atau opini terhadap materi yang didiskusikan karena bekal pemahaman materi serta kemampuan bahasa Inggris yang masih lemah. Hal tersebut juga dikarenakan mahasiswa kurang memiliki motivasi dan keberanian untuk mencoba menjawab pertanyaan yang diberikan. Dilain pihak, kelas tidak memberikan respon terlebih jika dosen tidak meminta salah seorang dari mahasiswa untuk menjawab. Dalam paparan data di atas, dapat dijelaskan bahwa respon kelas sangat minim didapatkan dosen dalam proses pembelajaran kecuali dosen mengarahkan pertanyaannya secara individu kepada mahasiswa.
Disamping itu, hasil observasi menunjukkan bahwa walaupun penjelasan atau pertanyaan yang diberikan dosen relatif mudah atau dapat dipahami mahasiswa, akan tetapi mereka masih enggan memberikan respon atau menjawab pertanyaan tersebut secara suka rela. Respon aktif dari mahasiswa secara individual jarang terlihat selama proses pembelajaran berlangsung. Selain itu, respon yang minim dari kelas juga terlihat pada paparan data (2) ketika mereka diminta untuk membagi kelompok dan mengerjakan tugas yang diberikan.
(2)
T
:
Question, please! If there’s no question, now could you please make eight groups to answer the questions I provide.

SS
:
(students are busy to make groups)

T
:
Listen to me first, I have eight questions that should be finished. So, I’ll devide them by making lottery. Do you understand that? Twenty minutes I think enough to do it. Write the result of discussion in a piece of paper and present it in front as well. Questions? Suggestions? Rejections?

SS
:
(no verbal response or questions)

T
:
If there is no question, it’s time to make your action…common thirty minute.

Dari paparan data di atas, nampak bahwa dosen memberikan intruksi pada mahasiswa untuk membagi kelompok menjadi delapan dan memberikan penjelasan singkat terkait tugas yang diberikan. Pertanyaan atau paparan intruksi dosen memang tidak memerlukan respon secara verbal dan dapat dijalankan dengan cukup baik oleh mahasiswa dengan membentuk kelompok walaupun waktu yang dibutuhkan untuk membentuk kelompok cukup lama dengan situasi kelas cukup ramai.
Dari paparan kutipan tersebut, nampak bahwa perintah dosen tidak harus direspon secara verbal. Akan tetapi hasil observasi menunjukkan bahwa hal tersebut dapat menjelaskan kebiasaan mereka yang pasif dan juga merefleksikan kemampuan berbahasanya. Tidak ada mahasiswa yang mau mengutarakan opini, pendapat, atau ide untuk menanyakan penjelasan yang diberikan dosen. Padahal intruksi yang diberikan dosen belum dipahami secara baik oleh mahasiswa. Hal tersebut terbukti ketika proses diskusi kelompok berjalan, terlihat sebagian kelompok tidak mempersiapkan jawaban pada selembar kertas untuk dikumpulkan. Selain itu, terdapat tiga kelompok yang belum menyelesaikan proses diskusi dalam waktu yang telah ditentukan dosen dan masing-masing anggota saling menolak menjadi wakil dari kelompok yang mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.
Sikap enggan mahasiswa dalam bertanya dapat diidentifikasi karena keterbatasan kemampuan bahasa Inggrisnya dan rendahnya motivasi untuk berlatih menggunakannya di kelas. Keengganan mahasiswa dalam berbicara bahasa Inggris dan mengutarakan pendapat bisa jadi juga dipengaruhi oleh budaya yang terbangun, yaitu mereka menganggap dosen sebagai pribadi dewasa yang harus dihormati, dipatuhi dan dijalankan apa yang diperintahnya tanpa harus menyela atau berargumentasi dengannya. Para mahasiswa terlihat nyaman menggunakan respon non-verbal untuk mengindikasikan bahwa mereka tahu dan mau melaksanakan apa yang ditugaskan dosen. Walaupun kenyataan di kelas menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka terkadang kurang menyimak, memahami dan bahkan terlihat kurang senang terhadap aktifitas belajar yang harus dilakukan.
Dilain pihak, respon secara verbal dalam interaksi yang terbangun di kelas muncul ketika dosen menunjuk salah satu mahasiswa untuk menjawab pertanyaan atau memberikan pendapat. Mereka tidak akan memberikan pendapat/menjawab pertanyaan secara sukarela jika tidak ditunjuk oleh dosen. Ada kecenderungan bahwa mahasiswa mau berbicara atau memberikan pendapat jika disuruh oleh dosen walaupun mereka faham atau tidak faham atas pertanyaan tersebut. Dari fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya hampir sebagian besar mahasiswa mampu menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi walaupun dasar kemampuan berbahasa mereka masih kurang. Situasi tersebut seperti terlihat pada paparan data berikut (3).
(3)
T
:
Yes, volunteer, please!

SS
:

T
:
Ehm…how teachers should make use of their language in the classroom in order that it is understood by students easily? What’s about you, nurul?

S1
:
Waduh…me sir. Er…according my opinion // er…teacher can to use er...hand // eh // like this and also picture, story and etc to teaching.

Seperti nampak pada contoh kutipan di atas, mahasiswa memberikan respon terhadap pertanyaan dosen secara spontan walaupun dengan tata bahasa dan isi jawaban yang kurang baik. Dengan bahasa yang dikuasainya, Mahasiswa tersebut mencoba menjelaskan pertanyaan yang diberikan karena memang diminta secara personal oleh dosen. Sehingga, dengan segala keterbatasannya mahasiswa  mencoba memberikan opininya disertai dengan bahasa tubuh untuk memperjelas arti.
Dari paparan ketiga contoh data di atas, dapat dijelaskan bahwa penggunaan teacher talk khususnya dalam interaksi yang terjalin antara dosen dengan kelas kurang efektif diterapkan untuk memfasilitasi proses pembelajaran serta kurang maksimal membantu mahasiswa berlatih menggunakan bahasa Inggris yang dimiliki. Keterlibatan mahasiswa dalam proses interaksi kelas cukup rendah serta mereka terlihat sangat jarang memberikan respon terhadap penjelasan/pertanyaan dosen secara sukarela. Dilain pihak, mereka mau berupaya memberikan respon secara verbal jika hanya diminta atau ditunjuk oleh dosen. Kondisi tersebut disebabkan karena mereka kurang termotivasi untuk berlatih berinteraksi dalam proses pembelajaran serta kurang percaya diri dalam berdiskusi menyampaikan opini/pendapatnya secara mandiri. Disamping itu, mereka juga terkendala dengan penguasaan bahasa Inggris yang masih kurang, sehingga walaupun mereka mengerti ataupun tidak mengerti pertanyaan yang diajukan oleh dosen, mereka cenderung memilih bersikap diam. Jadi, diamnya mahasiswa dalam proses pembelajaran bukan berarti mereka benar-benar tidak tahu pertanyaan dosen atau mereka tidak bias bahasa Inggris, akan tetapi karena mereka belum terbiasa menggunakan bahasanya di kelas.
B. Interaksi kelas antara Dosen dengan kelompok
Secara umum, hasil observasi kelas menunjukkan bahwa Interaksi yang terjalin antara dosen dengan kelompok hampir sama dengan situasi yag terjalin dalam interaksi antara dosen dengan kelas. Dalam hal ini, mahasiswa terlihat masih pasif serta jarang memberikan respon secara verbal di kelas. Kutipan berikut memberikan ilustrasi ketika kelompok terlihat tidak memberikan verbal respon kepada dosen walaupun pertanyaan/penjelasan yang diberikannya dapat dipahami dengan baik (4).


(4)
T
:
Finish?

Group
:
(the members of group only keep smile)

T
:
Do you think that teacher’s translation towards his or her explanation give benefits much for the students?

Group
:
(keep silent and only look at the teacher)

T
:
Gimana menurut kalian, teknik menterjemahkan setiap apa yang dikatakan guru ke dalam bahasa Inggris apa efektif bagi perkembangan siswa?

S1
:
Not always sir,

T
:
Why?

Group
:
(Keep smiles and look at each other)




Situasi dalam contoh di atas menggambarkan bahwa interaksi antara kelompok dengan dosen kurang berjalan dengan maksimal. Dari paparan kutipan tersebut, terlihat bahwa anggota kelompok tidak ada yang mencoba merespon pertanyaan dosen. Mereka hanya tersenyum dan saling melihat satu dengan yang lainnya menunggu untuk menjawab walaupun dosen telah mencoba mengulangi pertanyaan dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa aktifitas kelas yang sering dilakukan yaitu berupa diskusi kelas secara berpasangan, kelompok maupun secara klasikal memberikan banyak kesempatan bagi dosen berinteraksi dengan mahasiswa.  Walaupun mahasiswa terlihat jarang memberikan respon secara sukarela serta bahasa Inggris yang digunakan mereka masih sangat terbatas dan terkendala banyak kesalahan tata bahasa, akan tetapi dosen berupaya menciptakan interaksi dengan mahasiswa secara optimal. Dalam hal ini, dosen terlihat sering memberikan umpan balik yang difokuskan pada isi materi serta hanya beberapa kali saja memberikan koreksi terhadap kesalahan tatabahasa ataupun leksis pada akhir sesi diskusi.
Pemberian umpan balik yang difokuskan pada isi dilakukan oleh dosen agar mahasiswa termotivasi untuk berbicara dalam bahasa Inggris tanpa terbebani rasa takut membuat kesalahan tata bahasa serta untuk mendorong mereka terus berlatih berkomunikasi di kelas. Dengan cara demikian, diharapkan bahwa mahasiswa dapat terlibat aktif mengikuti proses diskusi kelas serta terbiasa mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang disajikan dosen karena dosen sering menggunakan problem solving sebagai teknik dalam memberikan perkuliahan.
(5)
S1
:
For me er…may be // teacher should can make enjoy learing er…in the teching students // supaya senang siswa belajarnya

T
:
Teacher should be able to make fun in learning. How to do that?

S1
:

T
:
What technique or strategy that should be employed by the teacher? Give us example!

S1
:
Bingung pak pake bahasa Indonesia saja ya

T
:
That’s ok, your English is good.

Seperti terlihat pada paparan data (5), dosen terlihat sering menggali pengetahuan mahasiswa dalam diskusi serta meyakinkan mereka untuk selalu menggunakan bahasa target dalam proses pembelajaran. Umpan balik kelas yang terfokus pada koreksi terhadap kesalahan tata bahasa atau leksis hanya diberikan saat-saat tertentu di akhir sesi diskusi, sedangkan umpan balik fokus pada isi selalu ditekankan. Pada saat tertentu ketika menemukan mahasiswa kesulitan memformulasikan opini dan mengutarakannya dalam bahasa Inggris, terlihat dosen berupaya menggunakan recest dengan memparafrasekan kalimat yang diucapkan mahasiswa. Hal tersebut dilakukan dosen untuk memajankan kalimat yang baik dan sebagai input bahasa bagi mahasiswa.
C. Interaksi antara Dosen dengan Mahasiswa
Hasil observasi lain menunjukkan bahwa dalam interaksi yang terjalin antara dosen dengan mahasiswa, negosiasi makna sering dilakukan oleh dosen. Aktifitas yang melibatkan negosiasi makna antara dosen dengan mahasiswa seperti terlihat pada paparan berikut (6).
(6)
T
:
That’s great but, don’t you think that the teacher should expose the target language maximally to the students // as it is suggested by many experts? (the teacher emphasized S2’s opinion with putting stress on the phrase ‘expose the target language’)

SS
:
… (students only keep silent)

T
:
 Expose? You know the word expose? Yes, display or use the English language as much as possible to give input for the students (She checked the students’ comprehension about the meaning of ‘expose the target language’ by raising the intonation)

Negosiasi makna sering dilakukan sebagai upaya agar mahasiswa mampu memahami penjelasan yang diberikan dengan lebih mudah karena dosen dalam proses pembelajaran selalu mencoba menggunakan bahasa target secara optimal untuk membiasakan mereka menyimak dalam bahasa Inggris. Selain itu, negosiasi makna dilakukan ketika dosen mendapati mahasiswa kesulitan menangkap penjelasan atau terminology bahasa yang sulit. Aktifitas negosiasi makna dilakukan dosen dengan cara memajankan kata yang memiliki makna serupa, menjabarkan dengan kalimat yang lebih sederhana, atau dengan menggunakan contoh-contoh untuk memperjelas arti disertai dengan penggunaan bahasa nonverbal, seperti bahasa tubuh, gerak ataupun ekspresi wajah.
D. Interaksi antara mahasiswa dengan mahasiswa
Dalam penelitian ini, jenis interaksi antar mahasiswa dengan mahasiswa lainnya tidak dilakukan observasi secara intensif. Hal tersebut dikarenakan subyek penelitian dalam penelitian ini hanya difokuskan terhadap penggunaan bahasa dosen ketika memfasilitasi proses pembelajaran TEFL. Akan tetapi, berdasarkan observasi yang telah dilakukan interaksi yang terjalin antara mahasiswa dengan mahasiswa sejawat lain paling sering terjadi dalam diskusi secara berpasangan. Sedangkan dalam proses diskusi kelompok, interaksi antara mahasiswa dengan mahasiswa relatif jarang apalagi diskusi kelas secara klasikal. Kontribusi mahasiswa dalam diskusi kelas secara klasikal sangat minim sekali. Hal tersebut dikarenakan jumlah mahasiswa yang menempuh TEFL sangat banyak yaitu sekitar 35 mahasiswa dalam tiap kelasnya.



BAB IV
PENGGUNAAN MODIFIKASI BERBICARA DALAM PROSES PEMBELAJARAN TEFL

Bab ini memaparkan hasil analisa data terkait dengan penggunaan modifikasi berbicara dari kegiatan observasi yang dilakukan. Dalam bab ini, analisa hasil penelitian dibahas secara komprehensif untuk menggambarkan jenis-jenis modifikasi berbicara yang dilakukan pendidik serta bagaimanakah modifikasi berbicara dapat membangun interaksi komunikatif di kelas.
A.      Modifikasi pelafalan
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa salah satu penggunaan modifikasi berbahasa yang sering dilakukan dosen dalam proses pembelajaran adalah modifikasi pelafalan. Berdasarkan hasil analisis data, terlihat bahwa dosen memodifikasi berbicaranya dengan menyederhanakan pelafalan dan memperjelas pelafalan bahasa. Dalam studi ini, terungkap bahwa dosen berusaha untuk menyederhanakan pengucapannya dengan memperlambat kecepatan berbicara diikuti dengan penekanan pada frasa atau bagian tertentu untuk memperjelas makna (1).
(1)
T
:
In an EFL context // English teachers have long debated two notions. The first ehm…getting learners to use the language // for example ehm… to speak and understand it and also getting learners to analyze the language liketo learn the grammatical rules. Of these ideas, which one do you believe? (the teacher gently asked the students about the basic principle of teaching)

SS
:
… (keep silent)

T
:
Yes…which one? Which one is better…help students or teach students conversation or teaching grammar (the teacher’s rate of speech decreased to emphasize the two general principles of teaching)

T
:
(One of students puts her hand up)  yes you…what do you think? 

S1
:
Yes er…according to me // both teaching speaking and grammar important…why because students must able ehm…to speak English fluently and also correct sir.

Dalam kasus tertentu, ditemukan bahwa rerata kecepatan berbicara dosen terlihat lebih lambat, terutama ketika mencoba untuk mengintensifkan informasi penting atau menggali pemahaman mahasiswa tentang isi dan esensi dari materi yang telah dibahas. Seperti digambarkan dalam kegiatan perkuliahan di atas, dosen berusaha untuk membangun critical thinking mahasiswa dengan menggali opini mmereka tentang dua prinsip pengajaran bahasa Inggris di kelas yang saling bertentangan, yaitu apakah pembelajaran bahasa Inggris harus difokuskan pada pembelajaran berbicara atau tata bahasa. Untuk menggali opini mahasiswa tentang dua kiblat pengajaran tersebut, dosen berupaya menyederhanakan bahasa yang digunakan dan memperlambat berbicaranya dan melakukan penekanan pada kalimat tertentu “The first ehm…getting learners to use the language // for example ehm… to speak and understand it and also getting learners to analyze the language”.
Modifikasi berbicara yang telah telah dilakukan tersebut dapat membantu mahasiswa untuk membuat refleksi sendiri terhadap materi yang telah mereka pelajari. Selain itu, terlihat bahwa dosen menyederhanakan kalimat yang telah diucapkan ketika mahasiswa tidak memberikan respon jawaban dari pertanyaan yang diberikan “Which one is better…help students or teach students conversation or teaching grammar”. Tingkat dosen berbicara menurun ketika mengulangi pertanyaan pada mahasiswa.  Dengan cara tersebut, dosen berupaya melakukan negosiasi makna dengan mahasiswa untuk membantu mereka mengutarakan pendapatnya dan berdiskusi di kelas.
Hasil observasi lain menunjukkan bahwa tingkat berbicara dosen terlihat lebih lambat khususnya ketika perpindahan antara materi satu dengan lainnya. Dosen menurunkan tingkat berbicara dan mengucapkan kata-kata tertentu secara jelas dan keras untuk menarik perhatian mahasiswa agar mereka memahami materi yang dipelajari (2).
(2)
T
:
Good, ok.  But Very often we found that a teacher gets his/her students to ask questions in turn when the teacher gives some exercises. What are the weaknesses of this technique? (the teacher spoke slowly, put stress on the underlined words and pronounced them loudly to help the students conclude the discussion)

SS
:
Ssssttt…(Students speak themselves)

T
:
Sorry?

T
:
Boring, yes. What else? Another? Yes you.

S2
:
Uneffective

Kutipan di atas menunjukkan bahwa dosen berupaya untuk memodifikasi berbicaranya dengan memperlambat tempo berbicara, misalnya pada kalimat “But Very often we found that a teacher gets his/her students to ask questions in turn…”  dan dengan memperjelas kata-kata atau frasa tertentu “ask questions in turn”, “weaknesses”. Strategi ini berhasil menarik perhatian mahasiswa untuk fokus terhadap pertanyaan yang diajukan dan memberikan ide/opini untuk menjawab pertanyaan dosen. Dengan kata lain, modifikasi berbicara dosen dalam hal pengucapan mampu memfasilitasi mahasiswa untuk terlibat aktif dalam proses diskusi kelas.
Dari hasil observasi, modifikasi berbicara juga dilakukan oleh dosen dengan cara memberikan tekanan intonasi pada suku kata atau frasa tertentu (3). Seperti terlihat pada kutipan berikut.
(3)
S2
:
Ehm… may be the teacher must speak English // ehm…fifty-fifty // I mean sometimes they speak Indonesia and sometimes they speak English.

T
:
That’s great but, don’t you think that the teacher should expose the target language maximally to the students // as it is suggested by many experts? (the teacher emphasized S2’s opinion with putting stress on the phrase ‘expose the target language’)

SS
:
… (students only keep silent)

T
:
 Expose? You know the word expose? Yes, display or use the English language as much as possible to give input for the students (She checked the students’ comprehension about the meaning of ‘expose the target language’ by raising the intonation)

S3
:
Sorry sir…err my students so difficult to understand // my English when I use English more in class. They only say like this…ngomong apa mom. so for me, it is better to use English ehm…half and half in Indonesia to explain our speaking.

T
:
Well. Yeah that’s our big homework. Teachers speak English throughout the class periods. Yes, of course there are some strengths and weaknesses of this technique? Now, I give you a couple of minutes to work with your desk mates. Please state the strengths and weaknesses of this phenomenon and how to solve the problem. Common please!

Pada kutipan (3), diilustrasikan bahwa dosen mencoba untuk menanggapi pendapat mahasiswa tentang penggunaan bahasa target/bahasa Inggris guru dalam memfasilitasi belajar siswa di kelas. Beberapa mahasiswa memberikan pendapat agar guru menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris secara berimbang agar siswa memahami apa yang diajarkan guru. Merespon pendapat yang diutarakan mahasiswa, dosen mencoba melemparkan argumentasi untuk ditanggapi mahasiswa bahwa pengajar diharapkan menggunakan bahasa target semaksimal mungkin di kelas sesuai saran para ahli bahasa “That’s great but, don’t you think that the teacher should expose the target language maximally to the students // as it is suggested by many experts?”. Ketika memberikan statemen tersebut, dosen berbicara pelan dengan menekankan intonasi pada frasa inti expose the target language’.
Disamping penekanan pada kata kunci tersebut, dosen juga terlihat melakukan negosiasi makna dengan mahasiswa dengan menggunakan padanan kata untuk mempermudah mereka memahami makna kata tersebut. Negosiasi makna sekali lagi dilakukan sangat pelan oleh dosen. Ketika mahasiswa terlihat memiliki bekal pemahaman baru terkait dengan penggunaan bahasa target dalam pembelajaran, kemudian dosen meminta mahasiswa untuk berdiskusi secara berpasangan. Dalam fase ini, modifikasi berbicara muncul kembali ketika dosen memberikan intruksi kepada mahasiswa untuk memformulasi kekuatan dan kelebihan cara tersebut dengan menaikkan intonasi berbicaranya“Please state the strengths and weaknesses of this phenomenon
Dari paparan analisa data di atas, dapat digarisbawahi bahwa modifikasi berbicara khususnya dalam segi pelafalan sering dilakukan subyek penelitian. Dalam proses pembelajaran, dosen cenderung mencoba untuk menyederhanakan atau memperjelas bahadsa yang digunakan di kelas untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya untuk memfokuskan perhatian mahasiswa pada materi perkuliahan, memudahkan mereka memahami inti materi, dan memacu mereka untuk terlibat dalam diskusi kelas. Secara khusus, ditemukan bahwa tingkat berbicara dosen terlihat lebih lambat agar materi atau informasi penting dapat tersampaikan secara baik pada mahasiswa dan menggali pemahaman mereka tentang isi atau esensi dari materi yang telah dibahas. Disamping itu, dosen cenderung menggunakan modifikasi berbicara ketika ingin melanjutkan materi satu ke berikutnya dengan melafalkan kata-kata tertentu secara jelas dan keras agar mahasiswa dapat mengikuti dan meretensi materi dari setiap sesi perkuliahan yang diselenggarakan. Dengan kata lain, penggunaan intonasi yang jelas, keras dan artikulasi lambat pada fase-fase pembelajaran tersebut berguna untuk menarik perhatian mahasiswa dalam negosiasi makna dengan dosen.
B. Jeda berbicara
Hasil penelitian menunjukkan bahwa modifikasi berbicara juga dilakukan dalam bentuk penggunaan jeda. Berdasarkan observasi yang dilakukan, dosen berusaha untuk memberikan jeda berbicara dalam proses perkuliahan dengan rentang durasi waktu yang bervariasi. Jeda digunakan sebagai upaya dosen untuk mencapai tujuan tertentu tersebut, misalnya untuk melibatkan mahasiswa dalam interaksi kelas, meningkatkan pemahaman mahasiswa, dan mengatur ritme waktu pemberian materi agar mahasiswa mampu mengikuti tahapan perkuliahan dan memahami materi yang diberikan.
Pada contoh kutipan (4), nampak bahwa dosen menggunakan jeda beberapa saat antar kata atau frasa penting untuk mendapatkan perhatian mahasiswa pada kata/frasa tersebut dan memberikan waktu cukup bagi mahasiswa untuk memproses informasi yang diberikan.  
(4)
T
:
Well, another technique used to perform the direct method in English teaching is by using reading aloud. Do you know that? Have you ever heard the term reading aloud before?

SS
:
Stststst…

T
:
Sorry? What is that? (one of students attempts to provide response)

S1
:
Reading the text …// by using high voice

T
:
Yes, like that. Reading aloud //students take turns reading sections of a passage // play or dialog out loud; gestures //pictures // or other means are employed to clarify the meaning of the section

Pada contoh kutipan (4), terlihat dosen menjelaskan teknik-teknik yang digunakan dalam implementasi pembelajaran melalui direct method, salah satunya penggunaan reading aloud di kelas. Dosen mencoba mengecek pemahaman mahasiswa tentang reading aloud dan mengaktifkan ingatan mereka bagaimana penerapan teknik tersebut dalam pengajaran bahasa Inggris. Seperti hasil observasi sebelumnya bahwa mahasiswa cenderung diam dan menunggu dosen memberikan informasi/materi perkuliahan. Oleh sebab itu, dosen sering terlihat memberikan pertanyaan-pertanyaan ketika menemukan istilah-istilah dalam pengajaran bahasa Inggris atau kosa-kata sulit lainnya.
Penggunaan jeda dalam contoh kutipan (4) terlihat ketika dosen memberikan penjelasan singkat konsep aplikasi reading aloud dalam direct method. Ketika menjelaskan teknik tersebut, nampak jelas bahwa secara sengaja jeda digunakan untuk menjelaskan konsep reading aloud untuk menekankan berbagai istilah yang digunakan “Reading aloud //students take turns reading sections of a passage // play or dialog out loud; gestures //pictures // or other means are employed to clarify the meaning of the section. Dengan cara tersebut, diharapkan mahasiswa memahami dan memudahkan mereka mengikuti penjelasan yang diberikan.
Penggunaan jeda secara sadar sebagai salah satu teknik dalam modifikasi berbicara di kelas juga terlihat dalam transkrip berbicara dosen berikut (5). Berbeda dari contoh transkrip (4), jeda diberikan relatif lama pada contoh penggunaan modifikasi jeda, sebagai berikut.
(5)
T
:
To sum up my explanation ehm…it can be said that the direct method is err… // reaction to the grammar translation method and its failure to train learners to communicate in the target language they had been learning.  Now it’s your turn to work in four…//yes four (deviding the group), these four, four…and you with them. Please discuss the strength and weaknesses about those methods. Thirty minutes I think enough for you, please.

SS
:
(The student felt confuse with the task)

T
:
Hello hello attention please. You make noisy, I wonder whether you understand or not with my instruction. Do you really know what you should do in group?

SS
:
No (in choir)

T
:
All right, As I have explained to you, both the direct method and grammar translaton method provides their own strength // and // weaknesses. You should make a simple table to illustrate its strength and weaknesses. Make any comparison of those two methods. And after that, after you finish off the discussion, I ask one of group to present the result // while the others add information or share the result. Is it understood?

SS
:
Yes (in choir)

Kutipan (5) menunjukkan bahwa dosen menggunakan jeda relatif lebih lama secara disengaja untuk memperjelas tugas kelompok yang diberikan. Hal tersebut dilakukan karena intruksi awal yang diberikan kepada mahasiswa kurang bisa dipahami oleh mereka. Sehingga mahasiswa tidak tahu persis apa yang harus mereka lakukan dalam kelompok. Ketika melihat situasi kelas yang mulai gaduh, kemudian dosen menanyakan ulang pada kelompok apakah mereka faham dengan tugas yang diberikan dan kemudian memberikan penjelasan ulang terkait tugas yang diberikan.
Ketika dosen memberikan instruksi ulang, modifikasi berbicara dilakukan salah satunya dengan menggunakan jeda. Jeda digunakan pada bagian-bagian informasi penting dengan penekanan intonasi dan berbicara lebih lambat, misalnya “..both the direct method and grammar translaton method provides their own strength // and // weaknesses”. Dalam instruksi tersebut, dosen mengucapkan kata “strength’’ diikuti jeda beberapa saat dan kemudian baru mengucapkan kata “weaknesses”. Penggunaan jeda juga terlihat pada kalimat berikutnya “ I ask one of group to present the result // while the others add information or share the result”. Pada contoh tersebut, ujaran dosen tersegmentasi jeda relatif panjang pada kata-kata kunci dari instruksi yang diberikan agar mahasiswa mendapat pemahaman penuh terhadap tugas yang harus dikerjakan.
Secara jelas jeda digunakan untuk memberikan penekanan pada tugas yang dinstruksikan, yang mana salah satu kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil diskusi dan kelompok lain diminta untuk menanggapi, memberikan masukan atau sanggahan. Dosen menaikkan intonasi kalimat untuk menekankan instruksi "one of group to present the result"dan membuat jeda relatif lama setelah kalimat tersebut, dan kemudian menaikkan intonasi kembali pada kata kunci kedua “ add information or share the result ". Kedua contoh tersebut menunjukkan bahwa jeda digunakan secara sadar untuk meningkatkan komprehensibilitas mahasiswa terhadap tugas atau materi yang diberikan.
Disamping pengunaan jeda secara sadar digunakan oleh dosen, hasil observasi juga menunjukkan bahwa jeda secara tidak sadar juga muncul dalam proses pengajaran di kelas (6). Dalam berbicara di kelas, terlihat bahwa aplikasi bahasa dosen beberapa kali menggunakan jeda dengan mengisi "ok, ya, ehm, dan sebagainya".
(6)
T
:
Ok, anyone. Do you have any question related to some activities that ehm…//underline the application of direct method?

SS
:

T
:
No questions? // good students.

SS
:
Gerr…(students laugh)

T
:
Ok // ya. Do you really understand that? Or you may have questions? (the lecturer waited for student’s individual response. Since no body voluntarily replied, the teacher pointed one of students)

S1
:
Er…tentang clarifications check and map drawing sir kurang jelas. Bagaimana..// how to application?

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara tidak disadari dosen mengisi jeda berbicara dalam berbahasa Inggris di kelas ketika menjelaskan materi perkuliahan. Seperti terlihat pada kutipan (6), dosen acapkali mengisi jeda secara tidak sadar dengan mengucapkan kata "ok" dan "ya" untuk memberikan pertanyaan, menjelaskan materi atau menunggu respon jawaban mahasiswa. Kata-kata tersebut sering muncul dalam percakapan khususnya ketika akan memulai topik atau beralih pada presentasi materi lebih lanjut “Ok, anyone”, Ok // ya”, “ehm…//underline”.
Cara lain yang digunakan oleh dosen dalam modifikasi berbicaranya adalah pengunaan waktu tunggu (wait time). Waktu tunggu adalah seperti jeda selama waktu dosen berbicara digunakan untuk menunggu jawaban mahasiswa sebelum dosen merumuskan pertanyaan lebih lanjut (7). Dari hasil observasi, terlihat bahwa penggunaan waktu tunggu memiliki peran penting dalam memfasilitasi belajar mahasiswa. Hal tersebut karena mahasiswa memiliki kesempatan cukup untuk memproses pertanyaan, memformulasi jawaban, dan kemudian memberikan tanggapan terhadap pertanyaan yang diajukan oleh dosen di kelas.

(7)
T
:
Yes I totally agree with your opinion that grammar should be taught in English classroom. But…//the problem is that many teachers often trapped er… with the old paradigm. They teach grammar most of the time. I still remember when my English teachers in Junior and senior used to teach to be in the first meeting and then drill grammar to us. Yes, many of them. Do you have similar experience with that?

SS
:
Yes…(in choir)

T
:
My question is that // Which one do you believe // teaching grammar separately or in an integrative way? (The teacher posed the problem first with adequate pauses, then delivered the question in rising volume)

SS
:

T
:
Volunteer, please? Common? Do you get my question? (teacer gives sufficient time for the students to provide response voluntarily before pointing one of students)

SS
:
Yes…(in choir)

T
:
What’s your opinion? (point one of students)

Kutipan (7) menggambarkan aktifitas dosen ketika menggali pengetahuan awal/schemata mahasiswa terkait dengan bagaimana pengajaran komponen bahasa di kelas, seperti tata bahasa dan kosakata. Sebelumnya, aktifitas ini didahului dengan dosen bertanya tentang peran pengajaran grammar dan kosakata dan meminta tanggapan dari beberapa mahasiswa. Setelah selesai menggali opini mereka, dosen kemudian memberikan pertanyaan inti tentang apakah grammar harus diajarkan terpisah atau terintegrasi dengan pengajaran skill bahasa (menyimak, berbicara, membaca dan menulis). Ketika memberikan pertanyaan tersebut, Nampak bahwa jeda digunakan relatif lama sebelum dosen memberikan pertanyaan dan ketika memberikan opsi jawaban serta meminta mahasiswa menjelaskan opinimya “My question is that // Which one do you believe… teaching grammar separately or //  in an integrative way?”. 
Setelah fase tersebut, wait time atau waktu tunggu digunakan dosen relatif lama agar mahasiswa dapat memberikan respon/jawaban terhadap masalah tersebut. Seperti yang telah dipaparkan di atas, sudah menjadi kebiasan mahasiswa hanya menunggu dosen memberikan penjelasan secara langsung. Pada fase ini, terlihat lagi tidak ada mahasiswa mau secara sukarela menjawab pertanyaan dosen. Melihat hal tersebut, dosen selanjutnya memberikan waktu lagi agar mahasiswa mau mencoba mengutarakan pendapatnya secara sukarela sebelum menunjuk salah satu mahasiswa untuk menjawab pertanyaan tersebut “Volunteer, please? Common? Do you get my question?” Hal tersebut dilakukan agar mahasiswa mampu menangkap inti pertanyaan dengan lebih baik, memberikan waktu pada mereka untuk berfikir, memproses pertanyaan dan menyiapkan jawaban.
Penggunaan waktu tunggu juga terlihat dalam contoh (8) dan (9) dosen ketika meminta mahasiswa untuk menjawab pertanyaan dan melibatkan mereka dalam kegiatan evaluasi dan refleksi terhadap materi yang dipelajari atau bahasa yang telah digunakan. Wait time berperan penting untuk menyediakan waktu yang cukup bagi mahasiswa untuk memberikan respon secara verbal terhadap pertanyaan dosen. Wait time juga dapat membantu mahasiswa untuk terlibat aktif dalam kegiatan diskusi atau tanya jawab serta mengasah critical thinking merek. Disamping itu, penggunaan  wait time dilakukan untuk menciptakan kondisi kelas yang lebih aktif dan dinamis.
(8)
T
:
In EFL classes teachers often ask their students to memorize some dialogs // along with repetition drills. Yes, drilling technique. Could you please tell me the weaknesses of this technique? (the teacher put his hand up to offering the question and waited for students’ reply) Ok come on? Yes, you (he nominated one of students who raised hand).

S1
:
Students will boring to join the class…er…because so difficult for students er…memorize many dialogue // and then the class also usually crowded

T
:
Students will be bored and the class is instable and very noisy. How about other? Do you agree with Anisa or may be you have other opinion? (He offered the others by employing gestures to discuss S1’s answer)

SS
:

T
:
Common…//…you may give additional information or may be rejection?

Kegiatan di atas menggambarkan bahwa dosen menggunakan waktu tunggu untuk memfasilitasi mahasiswa dalam diskusi kelas, membantu mereka mengutarakan pendapat dan mendudukkan permasalahan dalam pengajaran bahasa serta mencari kelebihan/kekurangan dari aplikasi teknik/metode yang biasa diterapkan guru di kelas. Ketika memberikan pertanyaan, dosen mengangkat tangannya untuk menangkap perhatian mahasiswa agar berkontribusi dalam proses diskusi dengan memberikan ide-ide untuk menyelesaikan masalah yang ada” Yes, drilling technique. Could you please tell me the weaknesses of this technique?” Setelah itu, waktu tunggu diberikan dosen untuk menerima masukan-masukan dari mahasiswa dan membantu mereka mengkonstruk pemahan sendiri (inquiry). Dari contoh kutipan (8), ditemukan juga penggunaan waktu tunggu ketika dosen menginginkan mahasiswa lainnya menanggapi jawaban yang telah diberikan S1 “Students will be bored and the class is instable and very noisy. How about other? Do you agree with Anisa or may be you have other opinion?” Dalam kutipan tersebut, nampak bahwa dosen menunggu respon dari mahasiswa lain untuk menyempurnakan opini atau menembahkan informasi yang telah diberikan S1. Hal tersebut dilakukan karena dosen melihat kontribusi mahasiswa dalam proses diskusi masih kurang dan kemauan mereka dalam menyimak pendapat temam sejawatnya serta memberikan opini secara mandiri masih sangat lemah.
Di sisi lain, penggunaan wait time/waktu tunggu dosen sebagai salah satu modifikasi bahasa yang diterapkan secara bervariasi menyesuaikan kebutuhan pembelajaran. Ini berarti bahwa penggunaan waktu tunggu bergantung pada pengetahuan dosen sendiri ketika membaca situasi kelas yang sedang dihadapi. Kapan dan berapa lama waktu tunggu diterapkan sangat terkait erat dengan kebutuhan untuk mencapai target tertentu pengajaran. Misalnya, ketika dosen berpikir bahwa mahasiswa tidak memiliki bekal pengetahuan dan pengetahuan cukup terhadap masalah tertentu, wait time tidak diterapkan dan dalam hal ini dosen langsung membimbing mahasiswa untuk menyelesaikan kasus bersama-sama (9).
(9)
T
:
Do you want to say something? (point a student who makes little noisy with his deskmates, and wait for her response)

S1
:

T
:
Alright, please share your ideas with us, don’t make your own discussion, right? (Since there was no reply from the student, the teacher redirected the question to the class) Or may be others? What do you think that someone learns second or foreign language more fruitfully when he or she is at 10?

SS
:



(Since there was still followed by empty response voluntarily from the students, the teacher guided them to resolve the case)

T
:
Alright, 10 years old students are still considered as ehm…in the critical period. In this age, they have good ability to learn new language // as they have almost little language barriers. Do you know that? Like psychological barriers that can be distructive and influence the students in learning. Ehm…for example shy, afraid, embarrassed, lazy, unself-confidance and others that can affect them to learn. Hello students, are you with me? But, 10 years old students only have them little. Therefore, they look like learn new language easily than adult. More questions?

Dalam paparan data di atas, diilustrasikan bahwa hampir sebagian besar mahasiswa jarang memberikan respon verbal secara sukarela, tapi mereka tampak begitu sibuk dengan diri mereka sendiri atau mendiskusikan masalah dengan teman mereka. Ketika pertanyaan dosen tidak mendapatkan respon secara verbal dari salah satu mahasiswa, kemudian dia mengalihkan pertanyaan tersebut ke kelas “may be others? What do you think that someone learns second or foreign language more fruitfully when he or she is at 10?”. Akan tetapi upaya tersebut masih belum mampu mendorong mahasiswa lain untuk memberikan opini secara sukarela dan terlihat memang mereka kurang memiliki pengetahuan tentang second language acquisation. Melihat hal tersebut, dosen berupaya membimbing mereka untuk menyelesaikan kasus secara bersama-sama. Wait time dalam hal ini hanya diberikan sebentar saja karena dosen melihat mahasiswa mengalami kesulitan dalam mendiskusikan kasus tersebut.
Berdasarkan paparan beberapa data di atas, terlihat bahwa para mahasiswa terbiasa diam dan enggan memberikan opini secara sukarela untuk menjawab pertanyaan dosen. Selain itu, mereka terlihat malu untuk inisiatif bertanya jika ada hal yang belum dipahami, cenderung memberikan tanggapan secara bersama-sama, atau mencoba membicarakan dengan teman terdekat. Sehingga, sering terlihat mahasiswa pasif dan ramai sendiri, sehingga suasana kelas menjadi kurang komunikatif dan produktif. Dapat dikatakan bahwa interaksi kelas selama proses observasi kurang berjalan secara interaktif karena mereka pasif ketika dosen mengajukan pertanyaan.
Respon diam yang diberikan mahasiswa yang terekam dari observasi kelas bisa jadi disebabkan karena mereka benar-benar kurang memiliki pengetahuan cukup tentang materi yang dipelajari atau mereka malu serta takut untuk mencoba mengutarakan opininya walaupun dosen sering meyakinkan mereka untuk berani mengutarakan pendapat dengan bahasa mereka sendiri tanpa terbebani kesalahan-kesalahan tatabahasa. Namun, hasil analisis lebih dekat menunjukkan bahwa pada saat tertentu mahasiswa memang masih belum siap untuk berpendapat dan mereka membutuhkan waktu yang cukup untuk berpikir terlebih dahulu.
Berkaitan dengan hal tersebut, penerapan modifikasi bahasa pendidik khususnya penggunaan jeda berbicara baik secara disengaja, tidak disengaja/filled in, dan dalam bentuk waktu tunggu (wait time) dapat membantu mahasiswa untuk terlibat aktif dan berkontribusi dalam proses diskusi kelas. Analisis tersebut didukung dengan temuan hasil observasi yang mana ditemukan bahwa mahasiswa mau dan atau lebih mampu berbicara setelah dosen memberikan pertanyaan kepada mereka dan memberikan jeda atau waktu yang cukup agar mahasiswa dapat memproses pertanyaan tersebut. Dengan kata lain, penggunaan jeda dalam berbicara di kelas memberikan kesempatan luas bagi mahasiswa untuk memproses input yang diberikan dosen. Disisi pendidik, penggunaan jeda pada waktu tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhan di kelas dapat memberikan kesempatan bagi pendidik sendiri untuk berfikir dan bertindak dalam mengolah bahasa yang digunakan dalam memfasilitasi belajar mahasiswa. Disamping itu, penggunaan jeda membantu mahasiswa untuk mengurangi beban kognitif dalam belajar, memahami materi perkuliahan, mengikuti instruksi yang diberikan dosen dan menciptakan kondisi kelas yang lebih dinamis..
C. Self-repetition
Bentuk lain dari modifikasi bahasa yang digunakan dosen di kelas yaitu melalui pengulangan bicara (self-repetition). Hasil observasi menunjukkan bahwa dosen beberapa kali mengulangi statemen-statemen atau pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada mahasiswa. Cara tersebut dimaksudkan untuk membantu mahasiswa memahami materi atau konsep-konsep yang telah disampaikan sebelumnya oleh dosen. Penggunaan pengulangan berbicara dalam proses pembelajaran berperan penting bagi mahasiswa karena mereka memiliki kesempatan untuk memproses input/masukan dari dosen yang mungkin tidak mereka serap sepenuhnya di awal ketika dosen menjelaskan materi tertentu. Hasil anilis bahasa dosen dalam studi ini menunjukkan bahwa pengulangan berbicara sering muncul ketika dosen memberikan instruksi, pertanyaan-pertanyaan, dan penjelasan kepada mahasiswa.
Bentuk-bentuk modifikasi bahasa melalui pengulangan berbicara yang dilakukan dosen ketika memfasilitasi belajar mahasiswa di kelas beragam. Salah satu pengulangan berbicara adalah dalam bentuk pengulangan penuh (10). Dalam hal ini, dosen berupaya untuk mengulang pertanyaan atau pernyataan yang telah diucapkan sebelumnya dengan jenis pertanyaan atau pernyataan serupa seperti yang telah dilakukan sebelumnya. 
(10)
T
:
Next problem. In any class, more capable students often dominate answering or asking questions and even class discussions. How should teachers overcome this problem? (teacher puts his hand up to invite the students to respond his question)

SS
:
(nobody wanted to reply teacher’s question)

T
:
Yes, please. does any body want to answer? Ya…come on? How should teachers overcome this problem? (he repeated the question by raising the intonation to catch students’ response)

T
:
Yes you, sorry I forget your name

S1
:
Yuni, sir. Teacher must able to // to distribution the question // also for the…the stupid students.

T
:
Enough? Yes I do agree with you. It should be better to say low achievers or low-proficient students. Jangan bilang stupid students, marah nanti anaknya

SS
:
Gerr…

T
:
Ya that’s ok. But, sometimes the teacher had tried to redirect the question to others as well. Unfortunately, the other students still do not want to give response. What should you do then?

Seperti digambarkan dalam kutipan (10), dosen meminta mahasiswa untuk memberikan tanggapan pada sebuah kasus yang telah teridentifikasi di kelas. Dosen mencoba memberikan sebuah permasalahan apa yang harus dilakukan pendidik ketika menjumpai siswa yang dominan dalam diskusi dan menggali pengetahuan mahasiswa bagaimana menyelesaikan masalah ketika proses diskusi hanya didominasi oleh siswa yang bekal kemampuan bahasanya tinggi. Akan tetapi, sayangnya upaya tersebut kurang berhasil mendapatkan respon dari mahasiswa. Mereka masih terlihat pasif dan enggan memberikan respon terhadap pertanyaan dosen. Menyadari hal tersebut, dosen mengulangi pertanyaan yang sama dengan menaikkan intonasi untuk mendorong motivasi mahasiswa merespon pertanyaan dosen “How should teachers overcome this problem?” Pada pengulangan pertanyaan kedua, terlihat ada salah satu mahasiswa mengangkat tangannya dan mencoba menjawab pertanyaan yang diberikan dosen. Walaupun jawaban yang diberikan mahasiswa tersebut kurang memuaskan bagi dosen, akan tetapi dosen memberikan apresiasi terhadap opini yang diberikan olehnya. Dari aktifitas tersebut, dapat dikatakan bahwa pengulangan pertanyaan yang dilakukan dosen memberikan waktu bagi mahasiswa untuk mempersiapkan jawaban dan dapat mendorong mahasiswa mau mencoba mengutarakan opini/pendapatnya secara mandiri.
Jenis lain dari pengulangan berbicara yang digunakan oleh dosen adalah dalam bentuk parafrase (11). Pada tipe ini, dosen mencoba mengulangi pertanyaan atau pernyataan yang sudah diberikan dengan merekonstruksi ucapan tersebut dengan struktur kalimat atau frase yang berbeda. Tujuan dari modifikasi berbicara dengan memparafrase pertanyaan atau statemen dapat dikatakan sama seperti jenis pengulangan penuh yang telah dipaparkan sebelumnya. Akan tetapi, hasil analisa dari observasi kelas yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pengulangan dalam bentuk paraphrase yang digunakan dosen memberikan variasi input bahasa  serta menghindari perilaku monoton dari pertanyaan-pertanyaan yang dilakukan oleh dosen. Cara tersebut diyakini dapat menghindari rasa bosan mahasiswa  untuk mengikuti proses belajar mengajar di kelas. Oleh karena itu, dosen dalam studi yang dilakukan ini cenderung merumuskan pernyataan atau pertanyaan dalam memberikan instruksi ketika ia menemukan bahwa mahasiswa tidak memberikan jawaban apapun terhadap pertanyaan-pertanyaannya.
(11)
T
:
In most cases ehm…teachers usually have big class sizes with traditional seating positions // having students in rows facing a teacher. Right, so how should we improve such conditions?

SS


T
:
Just pay attention to the question? (the teacher asked the students to be more attentive to him by showing his pointer and assigned them to notice the question posed by him)

T
:
How do we solve the problem concerning with large number of students in the class? (One of students puts her hand up) Yes, please!

S1
:
If we have many students in the classroom // ehm…as teacher we can ask the students to study er…out side

T
:
Nice answer, learning outside the class…another please!

Pada kutipan (11), dijelaskan bahwa dosen memberikan pertanyaan-pertanyaan lanjutan terkait dengan permasalahan-permasalahan yang sering terjadi di kelas. Permasalahan yang sedang dibahas yaitu terkait dengan jumlah siswa yang besar dengan pengelolaan kelas yang monoton yang mana para siswa belajar secara monoton dengan posisi tempat duduk menghadap ke depan/guru. Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan secara detail dengan intonasi suara yang jelas tersebut, kemudian dosen memberikan pertanyaan pada mahasiswa “so how should we improve such conditions?” Akan tetapi sayangnya dari pertanyaan yang diberikan dosen, belum ada mahasiswa yang mau menanggapinya dan memberikan jawaban. Kemudian, dosen menanyakan ulang masalah tersebut dengan memparafrase struktur kalimat baru “How do we solve the problem concerning with large number of students in the class?” Setelah dilakukan pengulangan atas pertanyaan tersebut, nampak respon dari mahasiswa bermunculan.
 Aktifitas di atas menunjukkan bahwa dosen mereformulasi pertanyaannya untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa mempersiapkan jawaban serta memberikan variasi input bahasa pada mereka. Beberapa parafrase dilakukan dosen dengan  mengubah statemen atau pertanyaan yang telah diberikan dengan menggunakan struktur yang berbeda, misalnya dari kalimat verbal ke kalimat nominal, mengkontruksi kalimat aktif ke kalimat pasif, atau mengganti kata kerja dengan jenis lain dari kata kerja dalam pertanyaan lebih lanjut tanpa mengubah isi dari pertanyaan yang dimaksud.
Jenis lain dari pengulangan berbicara yang digunakan dosen adalah dalam bentuk ekspansi kalimat (12). Dalam hal ini, dosen berusaha untuk memperluas pertanyaan dengan cara menghilangkan beberapa kata atau frase tertentu, dan kemudian menambahkan beberapa kata atau frase penting lainnya untuk memfasilitasi mahasiswa menangkap isi pertanyaan dan membantu mereka agar dapat memberikan respon dengan mudah.
(12)
T
:
I have a question, do you like a truck or a new expensive sedan?

SS
:
New sedan? (half of students give response hesitately)

T
:
Good choice! Pinter semua…

SS
:
Gerr…(students laugh)

T
:
But, wait a second. I need a vehicle to go to Ngebel and I want to buy many durians to sell…maklum mau lebaran nambah uang saku…which one is better? What vehicle is more effective to use // Truck or sedan?

SS
:
Truck (in choir)

T
:
Ha…that’s what I want. When we talk about which one is better, of course the answer is so relative. We should have a look on our purpose first, right. What’s our purpose? What’s our goal? Take one example above, jika tujuan kita mau kulaan duren di ngebel, ternyata alat atau sarana yang lebih baik pake truk bukan sedan baru…// sama kalo saya ibaratkan truk sedan sebagai sarana, alat, atau cara untuk mencapai tujuan, guru ketika ngajar juga harus menggunakan technique or method yang efektif disesuaikan dengan tujuan pembelajaran…paham? It’s not gurantee that a particular method which was claimed best by someone is effective to all class situation…

Seperti terlihat pada kutipan (12), dosen menggunakan pengulangan pertanyaan dalam bentuk  perluasan (expansion repetition) untuk mengarahkan perhatian mahasiswa pada tujuan perkuliahan serta untuk mengkonstruk pemahaman mahasiswa pada sebuah konsep penggunaan strategi/metode dalam pembelajaran. Dalam kegiatan ini, dosen mencoba menjelaskan 'konsep strategi' kepada mahasiswa secara implisit dengan menghubungkannya dengan apa yang telah mereka pelajari melalui ilustrasi contoh dalam kehidupan nyata. Dari pertanyaan dosen “do you like a truck or a new expensive sedan?” "which one is more effective to use // Truck or sedan?" dan kemudian mengaitkan pertanyaan tersebut dengan sebuah tujuan “I need a vehicle to go to Ngebel and I want to buy many durians to sell”, jelas bahwa ia berusaha untuk mengkontekstualisasikan konsep ‘strategi/metode pembelajaran kepada mahasiswa. Kemudian, pertanyaan tersebut diperluas menjadi “which one is better? What vehicle is more effective to use // Truck or sedan?” Serangkaian pengulangan pertanyaan tersebut berperan penting dalam  membantu mahasiswa membangun pengetahuannya sendiri pada sebuah konsep yang dipelajari.
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, dapat dijelaskan bawa ada tiga bentuk pengulangan berbicara yang dilakukan dosen, yaitu dalam bentuk pengulangan penuh, parafrase, dan ekspansi. Pengulangan berbicara acapkali digunakan oleh dosen ketika memberikan instruksi, pertanyaan-pertanyaan, dan penjelasan kepada mahasiswa. Pengulangan berbicara yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah bukti upaya dosen untuk memodifikasi bahasa yang digunakan dosen agar input yang diberikan dapat dipahami oleh para mahasiswa. Hasil analisa menunjukkan bahwa pengulangan parafrase adalah bentuk pengulangan berbicara yang paling sering dilakukan oleh dosen. Dari beberapa paparan data di atas, ditemukan bahwa pengulangan berbicara/pertanyaan dosen memberikan lebih banyak waktu bagi para mahasiswa untuk memproses input yang diberikan dosen dimana bisa jadi mereka kurang memahami input/informasi yang telah diberikan dosen diawal. Pengulangan berbicara dapat membantu mahasiswa memahami materi atau konsep-konsep yang telah disampaikan sebelumnya oleh dosen, memberikan variasi input bahasa pada mereka, serta berperan penting dalam  membantu mahasiswa membangun pengetahuannya sendiri pada sebuah konsep yang dipelajari.
D. Modifikasi tata bahasa
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa dosen dalam penelitian ini sering memodifikasi berbicaranya dengan menyederhanakan atau memvariasikan bahasanya ketika memfasilitasi perkuliahan. Berkaitan dengan hal tersebut, sering ditemukan bahwa ujaran yang diucapkan dosen tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa formal. Dengan kata lain, ragam bahasa informal dengan struktur kalimat tidak baku muncul dalam bahasa yang digunakan dosen, misalnya penghilangan subjek, kata kerja, atau obyek kalimat (13) dan (14).
(13)
T
:
It’s ok. Do you think that students are able to speak English fluently after learning grammar in junior and senior high school?

S1
:
... (He did not give response and just kept smile))

T
:
Brave to speak English? Always use English in the classroom? (the teacher expanded the question to catch S1’ attention) It’s not gurantee, right.

S1
:

Pada kutipan (13), terlihat bahwa kalimat tidak baku muncul dalam berbicara dosen. Pada awalnya, dosen terlihat mengajukan pertanyaan dengan struktur kalimat yang terorganisasi dengan baik "Do you think that students are able to speak English fluently after learning grammar in junior and senior high school?" Karena tidak ada respon dari mahasiswa, dosen kemudian melanjutkan pertanyaan berikutnya untuk memajankan pemahaman baru pada mahasiswa serta mengasah kemampuan berfikir kritis mereka. Akan tetapi pada pertanyaan lanjutan dosen, kalimat-kalimat yang digunakan tidak lengkap dimana kata kerja bantu dan subyek kalimat dihilangkan. Ketika bertanya pada mahasiswa, dosen hanya menggunakan kata kerja baru dengan menaikkan intonasi suara "Brave to speak English? Always use English in the classroom?" Penghilangan subyek serta kata bantu dalam kasus ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk memfokuskan perhatiannya hanya pada inti dari topik bahasan serta mempermudah mereka memahami esensi kasus yang sedang dibahas bersama.
Lebih lanjut, penghilangan bagian-bagian kata sering dijumpai dalam kalimat yang diucapkan dosen. Penggunaan kalimat yang tidak baku lainnya terihat pada kutipan berikut (14). Dalam contoh kutipan ini, pertanyaan yang diberikan dosen bahkan tidak memiliki subjek maupun kata kerja. Kalimat pertanyaan yang digunakan hanya berisi kata keterangan.
(14)
T
:
I just try to remind you, how many times do you practice your English at home?

SS
:

T
:
How many times in a day?

SS
:
Sssss (students speak each other)

T
:
Three times? Many times? Least of the times? Or none of the times?

SS
:
Sssst (students keep smile)

T
:
Rarely may be. Ha…that’s one of reasons why the teacher should expose English as much as possible in the classroom, right!
Pada kutipan (14), ditunjukkan penggunaan tata bahasa yang tidak standard (grammatical adjustment) terjadi pada ucapan dosen. Dari pertanyaan awal yang diberikan dosen "how many times do you practice your English at home?", kemudian subjek dan predikat pada kalimat berukutnya dihilangkan ‘How many times in a day?’ ‘Three times?’ ‘Many times?’ ‘Least of the times?’ ‘Or none of the times?’ Penggunaan pengulangan kalimat yang tidak utuh tersebut ditujukan untuk mengulangi pernyataan yang sama yaitu untuk mengingatkan mereka tentang berapa sering mereka mempraktikkan bahasa Inggris di rumah. Bentuk adjustment bahasa tersebut muncul karena mahasiswa tidak memberikan respon. Sehingga, dosen memberi pertanyaan lebih lanjut dengan menghilangkan subjek dan predikat dan hanya digunakan kata kerja bantu dan adverb. Dari hasil analisis situasi kelas, modifikasi berbicara yang dilakukan dosen dengan hanya menggunakan fragmen kalimat berperan untuk mengurangi beban kognitif mahasiswa dalam menyimak penjelasan dan membantu mereka fokus pada topik yang sedang didiskusikan.
E. Alih kode
Modifikasi berbicara dosen juga dilakukan dalam bentuk Alih kode (code-switching). Hasil analisis menunjukkan bahwa dosen beberapa kali menggunakan bahasa Indonesia untuk mengatasi kesulitan komunikasi selama proses pembelajaran berlangsung (15).  Bahasa Indonesia digunakan ketika negosiasi makna yang dilakukan dalam bahasa Inggris kurang berjalan maksimal dan ia menemukan bahwa para mahasiswa menghadapi masalah dalam memahami penjelasan yang diberikan. Penggunaan alih kode ataupun juga campur kode dalam berbicara dilakukan untuk menghindari miskomunikasi di kalangan mahasiswa.
(15)
T
:
Well, other principle of direct method is that // Grammar is inductively taught. Inductive method, like a rule discovery learning. You know that? In this case the teacher teaches grammar starting with presenting some examples of sentences, and then learners understand grammatical rules from the examples. Hello…are you with me? Get it the points

SS
:
Yes…(in choir)

T
:
What is yes meant?

SS
:
Gerrr…(students laugh)

T
:
Seperti yang sering kita jumpai, grammar diajarkan secara induktif. Guru memberikan rumus, misalnya simple past tense // subjek plus verb dua plus obyek plus keterangan. Kemudian diberikan contoh…// bla…bla…bla… this is positive // this is negative…// interrogative…dan kemudian siswa diminta untuk latihan.

Dalam kutipan (15), terlihat bahwa alih kode digunakan dosen dalam menjelaskan prinsip-prinsip penerapan direct method dalam pengajaran bahasa Inggris. Ketika dosen menjumpai mahasiswa kesulitan menangkap apa yang dijelaskannya dan negosiasi makna kurang mampu membantu mereka memahami konsep yang telah diterangkan, maka dosen menggunakan bahasa Indonesia untuk menggaris bawahi informasi yang diberikan. Dosen menggunakan bahasa Indonesia "Seperti yang sering kita jumpai, grammar diajarkan secara induktif …" untuk menggarisbawahi apa yang telah dijelaskannya dalam bahasa Inggris. Jadi dosen tidak menterjemahkan apa yang sudah dikatakannya, melainkan menjabarkan apa yang sudah dijelaskan disertai dengan contoh-contoh kongkrit penerapan metode tersebut. Strategi ini digunakan ketika informasi yang diberikan dirasa penting dan mahasiswa harus mendapatkan esensi atau inti dari informasi tersebut agar mereka mendapatkan pemahaman yang utuh.
Penggunaan alih kode oleh dosen beberapa kali teridentifikasi selama proses pembelajaran.  Pada dasarnya, penggunaan alihkode berfungsi untuk menjembatani mahasiswa agar mereka lebih mudah menangkap penjelasan dan menghindari kesalahpahaman. Hasil observasi juga menunjukkan bahwa penggunaan alih kode juga dapat mengurangi beban psikologis belajar mahasiswa ketika dosen menggunakan bahasa target terus menerus. Disamping itu, alih kode digunakan juga ketika dosen menemukan bahwa respon mahasiswa tidak jelas atau jawaban yang diberikan tidak lengkap. Oleh karena itu, dosen mencoba menggunakan alih kode untuk memberikan input yang lebih dapat dipahami oleh mahasiswa
Lebih lanjut , hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa dosen beberapa kali menggunakan alih kode dengan cara menterjemah apa yang telah disampaikannya dalam bahasa target. Dalam beberapa kesempatan, terlihat dosen menjelaskan sebuah materi kepada mahasiswa dalam bahasa target dan kemudian mengulangi penjelasan tersebut dalam bahasa Indonesia persis seperti apa yang telah disampaikannya sebelummnya. Aktivitas tersebut seperti nampak pada contoh kutipan berikut (16).
(16)
T
:
In short, we can conclude our discussion that the use of technique or method in English language teaching should be suited with the purpose of learning, the students’ proficiency level in English, and our students’ need and want in learning English. Ada pertanyaan?

SS
:

T
:
Jadi ketika kita memilih strategi atau metode pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, tingkat penguasaan bahasa Inggris siswa dan kebutuhan serta keinginan siswa kita.

Dari paparan data di atas, nampak bahwa dosen mencoba mengulangi penjelasan yang telah diberikan dengan menterjemahkan apa yang telah dikatakan dengan bahasa Indonesia. Hasil analisis dari observasi kelas yang telah dilakukan menunjukkan bahwa taktik modifikasi berbicara dosen dengan cara menterjemahkan tersebut digunakan untuk membantu pemahaman mahasiswa terhadap penjelasan dosen dengan tujuan agar mereka mampu dengan mudah menyerap esensi materi yang diberikan. Walaupun aktifitas menterjemahkan diyakini berdampak negative terhadap perkembangan bahasa kedua mahasiswa seperti halnya temuan hasil berbagai studi dalam SLA, akan tetapi pada beberapa hal dalam studi ini menunjukkan bahwa aktifitas menterjemahkan dapat memfasilitasi belajar mahasiswa jika digunakan secara proporsional pada saat yang tepat. Penggunaan taktik menterjemahkan pada waktu dan kuantitas yang tepat dapat menambah motivasi belajar dan kepercayaan diri mahasiswa untuk meyakinkan kepada mereka apakah materi yang telah dijelaskan oleh dosen sesuai ataukah tidak sesuai dengan apa yang mereka simak/dapatkan.
Dilain pihak, penggunaan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa target dilakukan dosen khususnya ketika ia melihat mahasiswa terlalu sering menggunakan bahasa pertamanya. Hasil temuan studi ini menunjukkan bahwa dosen mencoba membatasi penggunaan bahasa pertama ketika terlalu sering digunakan di kelas dan kemudian beralih menggunakan bahasa Inggrisnya untuk mendapatkan respon bahasa Inggris pula dari mahasiswa. Contoh kutipan berikut memaparkan sebuah ilustrasi kegiatan dosen ketika alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris dilakukan (17).
(17)
T
:
That’s great but, don’t you think that the teacher should expose the target language maximally to the students // as it is suggested by many experts? (the teacher emphasized S2’s opinion with putting stress on the phrase ‘expose the target language’).

S1
:
Permasalahannya gini pak // banyak siswa yang ndak faham bahasa Inggris pak. Kalo guru pake bahasa Inggris terus-menerus, er… mereka akan kesulitan menyerap materi yang diajarkan dan tidak antusias belajarnya.

T
:
Ha… ini yang sering terjadi di kelas bahasa kita. Guru cenderung mengurangi intensitas penggunaan bahasa Inggris di kelas karena melihat siswanya tidak faham bahasa Inggris dan bahkan kadang menggunakan bahasa Indonesia secara terus menerus. Permasalahannya adalah apakah guru tidak punya cara lain agar siswa faham apa yang diucapkannya? Atau jangan-jangan guru juga kurang lancar berbicara dalam bahasa Inggris?

T
:
(one of students put his hand up) Sorry, wait a moment. Ehm…some experts suggest us to always use the target language, English, as much as possible in the classroom and // always make negotiation of meaning with the students. Negotiation of meaning…yes teacher can employ gestures, body language, facial expression or other teaching aids to help students understand their instruction easily. Ok, what’s your idea?

S2
:
Biasanya siswa takut dan merasa minder …

T
:
Sorry… (teacher interrupt her in order to use English)

S2
:
Sometimes students feel // feel depression and no self confidance when teacher to always use English.

Dari paparan data kutipan (17) di atas, nampak bahwa dosen menggunakan alih kode sebagi respon terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang terus menerus digunakan di kelas. Pada awalnya mahasiswa mencoba memaparkan pendapatnya tentang kelemahan penggunaan bahasa Inggris jika guru banyak menggunakannya dalam pembelajaran. Ketika diskusi berjalan, dosenpun terlihat menjelaskan alasan pentingnya penggunaan bahasa target untuk perkembangan bahasa siswa disertai dengan pemaparan penggunaan strategi yang harus diperhatikan agar siswa mampu menegosiasi makna dan memahami materi yang dijelaskan. Berdasarkan observasi yang dilakukan, kemudian dosen mencoba mengalihkan bahasanya dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris untuk mendapatkan respon bahasa Inggris pula dari mahasiswa. Ketika mahasiswa (S2) mencoba mengutarakan opininya dalam bahasa Indonesia “Biasanya siswa takut dan merasa minder…” dosenpun menyela mahasiswa tersebut dengan mengatakan ‘sorry’. Interupsi tersebut secara implicit mengisyaratkan mahasiswa agar mencoba menggunakan bahasa Inggrisnya dalam berbicara. Dari paparan tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan alih kode oleh dosen dari bahasa pertama ke bahasa target berperan penting untuk mendapatkan respon dari mahasiswa dalam bahasa target pula. Hal tersebut dilakukan karena ada kecenderungan bahwa mahasiswa selalu menirukan apa yang diucapkan atau dilakukan dosen, serta menjadikan input yang diberikannya sebagai masukan untuk meningkatkan kemampuan berbahasanya dan selalu menjadikan dosen sebagai  model dalam belajar.
Selain itu alih kode, campur kode juga merupakan temuan dalam observasi kelas yang telah dilakukan. Penggunaan campur kode seperti terlihat pada contoh paparan kutipan berikut (18)
(18)
T
:
It’s ok. Do you think that students are able to speak English fluently after learning grammar in junior and senior high school?

S1
:
... (He did not give response and just kept smile))

T
:
Brave to speak English? Always use English in the classroom? (the teacher expanded the question to catch S1’ attention) It’s not gurantee, right.

S1
:

T
:
Many people like a guide in pantai kute bali never learn grammar, but they can speak English with turis. Some tkw in Hongkong after acouple of years are also able speak English without learning grammar.

Hasil analisa menunjukkan bahwa fungsi alih kode secara umum serupa dengan penggunaan alih kode seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dosen memodifikasi berbicaranya dengan menggunakan alih kode untuk memfasilitasi pemahaman mahasiswa terhadap terminology-terminologi bahasa atau materi yang kurang difahami, memfokuskan perhatian mahasiswa terhadap materi yang diajarkan, dan mengurangi beban psikologis belajar mereka ketika dosen menggunakan bahasa target.
BAB V
PENUTUP

Bab akhir ini berisi kesimpulan dan saran hasil penelitian yang telah dilakukan. Secara ringkas, kesimpulan dalam studi ini disajikan berdasarkan hasil temuan dan diskusi sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dibahas pada bab pertama. Selanjutnya, beberapa saran penting ditujukan kepada orang-orang yang terkait dengan penelitian ini.
A.  Kesimpulan
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa studi ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan mendiskripsikan penerapan modifikasi berbicara untuk membangun interaksi komunikatif dalam proses pembelajaran TEFL I. Studi ini menunjukkan beberapa temuan penting dan memberikan saran yang bermanfaat sebagai berikut. Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa pendidik (teacher talk) banyak digunakan dalam bahasa target dan mendominasi selama proses pembelajaran. Akan tetapi, intensitas penggunaan bahasa pendidik menurun ketika proses perkuliahan berpusat pada mahasiswa, misalnya pada saat presentasi dan diskusi kelas, untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk saling bertukar pendapat terkait dengan materi yang dipelajari serta mempraktikan kemampuan bahasa Inggris mereka.
Tingkat partisipasi mahasiswa selama proses perkuliahan relatif masih rendah. Hampir sebagian besar mahasiswa terlihat kurang aktif mengikuti proses pembelajaran, kurang percaya diri dalam menggunakan bahasa Inggrisnya, enggan bertanya atau menjawab pertanyaan secara sukarela dan belum memberikan kontribusi optimal dalam diskusi kelas. Kondisi tersebut bisa jadi disebabkan karena penggunaan bahasa target yang cukup tinggi oleh dosen.
Akan tetapi, setelah dilakukan analisa lebih mendalam terhadap hasil observasi kelas, intensitas penggunaan bahasa pendidik yang tinggi cenderung lebih diminati oleh mahasiswa. Hal tersebut dikarenakan input yang diberikan dosen dapat dipahami oleh mahasiswa dan mereka diberikan kesempatan yang luas untuk berlatih menggunakan bahasa mereka selama proses perkuliahan berlangsung. Terlebih, beberapa fitur komunikatif dalam modifikasi berbicara dapat dimanfaatkan dengan baik oleh dosen untuk merangsang mahasiswa berperan aktif dalam diskusi kelas/kelompok dan mendorong mereka menggunakan bahasa target sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa modifikasi berbicara terjadi selama proses belajar-mengajar. Modifikasi yang paling dominan dilakukan oleh dosen adalah modifikasi pelafalan. Subyek dalam penelitian ini  cenderung menggunakan pengucapan natural tetapi sering menyederhanakan dan memperjelas bahasa yang digunakan, seperti penekanan arti dengan menaikkan intonasi, volume, atau memperlambat kecepatan berbicaranya. Selain itu, ditemukan juga penggunaan modifikasi berbicara lainnya selama proses perkuliahan berlangsung, seperti penggunaan jeda, pengulangan berbicara dan alih kode.
Secara khusus, modifikasi berbicara yang digunakan dosen dalam memfasilitasi proses pembelajaran TEFL I dapat disimpulkan sebagai berikut.
a.         Modifikasi pelafalan dilakukan dengan memperlambat kecepatan berbicara diikuti dengan penekanan pada frasa atau bagian tertentu untuk memperjelas makna. Dosen cenderung menyederhanakan atau memperjelas bahasa yang digunakan untuk memfokuskan perhatian mahasiswa, memudahkan mereka memahami isi materi, memacu mereka untuk terlibat dalam diskusi kelas, memfasilitasi negosiasi makna dengan mahasiswa. Dengan kata lain, penggunaan intonasi yang jelas, volume suara keras dan artikulasi lambat pada fase-fase pembelajaran tertentu berguna untuk menarik perhatian mahasiswa dalam negosiasi makna dengan dosen.
b.        Modifikasi bahasa dalam bentuk penggunaan jeda dilakukan dalam rentang durasi waktu yang bervariasi menyesuaikan kebutuhan pembelajaran. Jeda digunakan secara disengaja, tidak sadar (filled in), dan dalam bentuk waktu tunggu (wait time) berfungsi untuk melibatkan mahasiswa dalam interaksi kelas, mengatur ritme agar mahasiswa mampu mengikuti setiap tahapan perkuliahan dan memahami materi yang diberikan. Selain itu, penggunaan meodifikasi bahasa tersebut berperan penting dalam memfasilitasi belajar mahasiswa untuk memberikan waktu yang cukup bagi mereka untuk memberikan respon secara verbal, mendorong keterlibatan aktif mereka dalam kegiatan diskusi atau tanya jawab, mengasah critical thinking dan menciptakan kondisi kelas yang lebih dinamis.
c.         Modifikasi bahasa dalam bentuk pengulangan berbicara dilakukan dengan cara pengulangan penuh, parafrase, dan ekspansi. Pengulangan berbicara sering digunakan ketika memberikan instruksi, pertanyaan-pertanyaan, dan penjelasan kepada mahasiswa agar input yang diberikan dapat dipahami oleh mereka. Modifikasi bahasa tersebut memberikan waktu luas bagi mahasiswa untuk memproses input yang diberikan, membantu memahami materi atau konsep-konsep yang telah disampaikan, memberikan variasi input bahasa pada mereka, serta berperan penting dalam membantu mereka membangun pengetahuannya sendiri terhadap sebuah konsep yang dipelajari.
d.        Modifikasi bahasa dalam bentuk penggunaan tatabahasa yang tidak baku juga teridentifikasi dalam penelitian ini. Walaupun tidak terlalu dominan, modifikasi tersebut muncul dalam proses pembelajaran ketika dosen menggunakan ragam bahasa informal dengan struktur kalimat tidak baku, misalnya penghilangan bagian-bagian kata seperti subjek, kata kerja, atau obyek kalimat. Hasil analisis situasi kelas menunjukkan bahwa modifikasi berbicara yang dilakukan dosen dengan hanya menggunakan fragmen kalimat berperan untuk mengurangi beban kognitif mahasiswa dalam menyimak penjelasan dan membantu mereka fokus pada topik yang sedang didiskusikan.
e.         Modifikasi berbicara dalam bentuk alih kode (code-switching) digunakan dosen ketika mengatasi kesulitan komunikasi antar mahasiswa selama proses pembelajaran berlangsung atau ketika menjumpai respon mahasiswa tidak jelas atau jawaban yang diberikan tidak lengkap. Penggunaan alih kode dalam berbicara dapat mengurangi beban psikologis belajar mahasiswa ketika dosen menggunakan bahasa target dengan intensitas tinggi. Disamping itu, penggunaan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa target dilakukan dosen ketika mahasiswa terlalu sering menggunakan bahasa pertamanya. Dalam hal ini, alih kode digunakan untuk mendapatkan respon dari mahasiswa dalam bahasa target karena ada kecenderungan bahwa mahasiswa selalu menirukan apa yang diucapkan atau dilakukan dosen, serta menjadikan input yang diberikannya sebagai masukan untuk meningkatkan kemampuan berbahasanya dan selalu menjadikan dosen sebagai  model dalam belajar.
Dari paparan kesimpulan di atas, dapat digaris bawahi bahwa penggunaan modifikasi bahasa yang digunakan dosen dalam penelitian ini efektif mampu menciptakan interaksi komunikatif di kelas dan memfasilitasi belajar mahasiswa. Modifikasi bahasa yang digunakan, seperti modifikasi pelafalan, penggunaan jeda, penggunaan ragam bahasa informal dan penggunaan alih kode dapat membantu mahasiswa memahami materi perkuliahan dengan lebih mudah, lebih fokus dalam mengikuti perkuliahan, mendorong mahasiswa aktif dalam bertukar pendapat dalam diskusi dan menggunakan bahasa target secara optimal. 
B.  Saran-saran
Berdasarkan temuan hasil penelitian ini bahwa penggunaan modifikasi berbicara secara efektif dapat meningkatkan unjuk kerja mahasiswa dalam proses perkuliahan dan mendorong penggunaan bahasa target secara optimal, maka beberapa saran perlu disampaikan pada beberapa pihak sebagai berikut. Bagi para pendidik diharapkan lebih cermat dan intensif dalam menggunakan teacher talk baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Terlebih, modifikasi berbicara harus dihadirkan secara efektif di kelas sesuai dengan tingkat kemampuan bahasa peserta didik, kebutuhan dan kemauan belajar mereka dalam belajar untuk menciptakan interaksi komunikatif, memfasilitasi proses perkuliahan dengan optimal, dan meningkatkan kompetensi berbahasa mereka. Dilain pihak, diharapkan bahwa para peserta didik mampu mengoptimalkan input/materi yang diberikan secara komprehensif melalui modifikasi bahasa yang diterapkan oleh dosen, sehingga mereka dapat membangun interaksi komunikatif di kelas, mempraktikkan bahasanya dengan sharing antar teman sejawatnya, sehingga mereka mampu meretensi dan mengembangkan ilmu yang dipelajari serta meningkatkan kompetensi bahasanya. Selain itu, hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi peneliti lanjutan sebagai referensi dalam melakukan penelitian lanjutan terkait dengan penggunaan modifikasi berbicara dengan mengeksplorasi variable-variabel yang belum dikaji atau kurang dibahas dengan baik dalam studi ini. Beberapa hal tersebut dapat dieksplorasi dan disempurnakan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih rinci terhadap aplikasi bahasa pendidik dalam pembelajaran bahasa yang interaktif dan komunikatif. Lebih lanjut, fitur-fitur bahasa pendidik yang dapat menciptakan interaksi komunikatif di kelas, seperti penggunaan referential questions, content feedback, negotiation of meaning dalam proses pembelajaran dan lain sebagainya dapat dijadikan kajian dalam penelitian lanjutan.



DAFTAR PUSTAKA

Chaudron, C. (1988). Second Language Classrooms: Research on Teaching and Learning. Cambridge: Cambridge University Press.
Cook, V. (2000). Second Language Learning and Language Teaching (2nd Edition). Beijing: Foreign Language Teaching and Research Press.
Cullen, R. (1998). “Teacher Talk and the Classroom Context.” ELT Journal volume 52/3: 179-187.
Donald, K & Paul D. Eggen. (1989). Learning and Teaching: Research based Methods. Allyn and Bacon.
Ellis, R. (1985). “Teacher-Pupil Interaction in Second Language Development.” In Gass & Madden: 69-85.
Gass, S. (1997). Input, Interaction and the Second Language Learner. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.
Griffiths, R. (1990). Speech rate and NNS comprehension: A preliminary study in time-benefit analysis. Language Learning, 40, 311-336.
Griffiths, R. (1992). Speech rate and listening comprehension: Further evidence of the relationship. TESOL Quarterly, 26(2), 385-395.
Kelch, K. (1985). Modified input as an aid to comprehension. Studies in Second Language Acquisition, 1, 81-90.
Giouroukakis et. al. (2008). Pre-service ESL teacher’s instructional discourse during one-on-one tutoring. Retrieved from http://www.elted.net/issues/volume-11/2%20giouroukakis%20et.pdf.
Krashen, S. (1982). Principles and Practice in Second Language Acquisition. Oxford: Pergamon.
Long, M. & Sato, C. (1983). “Classroom Foreigner Talk Discourse: Forms and Functions of Teachers’ Questions.” In Seliger & Long: 268-85.
Lin, H. Y. (2005). Teacher talk of native and non-native English teachers in EFL Classroom. http://www.Ethesys .lib.edu.tw.
Moskowitz, G. (1971). “Interaction Analysis: A New Modern Language for Supervisors.” Foreign Language Annals 5: 211-21.
Nunan, D. (1991). Language Teaching Methodology: A Text Book for Teachers. Cambridge: CUP
Owen, D., (1996) Do teachers modify their speech according to the proficiency of their students ? ELTED, Vol.2 Issue 1, 31-51
Ramanathan, V. & Atkinson, D. (1999). Ethnographic Approaches and Method in L2 Writing Research: A Critical Guide and Review. Applied Linguistics. 20/1, pp. 44-70.
Richards, J. (1992). The Context of Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.
Richards, J., & Lockhart, C. (1996). Reflective Teaching in Second Language Classrooms. New York: Cambridge University Press.
Swain, M. 1985. Communicative Competence: Some Roles of Comprehensible Input and Comprehensible Output in its Development. In S. Gass & C. Madden (eds.). Input in Second Language Acquisition. Rowley, Mass.: Newbury House.
Thornbury, S. (1996). “Teachers Research Teacher Talk.” ELT Journal Volume 50/4: 279-289
Urano, K (1998:9) Teacher input and interaction: Native and non-native teachers in ESL Classrooms. http://www.urano-ken.com/research/chubu1998.
Watson-Gegeo, K. A. (1988). Ethnography in ESL: Defining the Essentials. TESOL Quarterly, 22(3): 575-592.



[1] Cook, Second Language Learning and Language Teaching,( Beijing: Foreign Language Teaching and Research Press, 2000), 84.
[2] Chaudron,  Second Language Classrooms: Research on Teaching and Learning, (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 34.
[3] Thornbury, “Teachers Research Teacher Talk.” (ELT Journal, 1996), 50/4: 281
[4] Thornbury , ibid., 1996, 50/4:282.
[5] Hasil pleminary study dalam proses pembelajaran TEFL I pada cermin tengah semester awal menunjukkan bahwa partisipasi mahapeserta didik dalam mengikuti proses perkuliahan, diskusi kelompok dan diskusi kelas masih relatif rendah. Mahapeserta didik kurang memiliki kemauan untuk menggunakan language target, kesadaran dalam  menyimak materi perkuliahan, dan enggan untuk sharing pengalaman/pengetahuan baik dengan dosen maupun dengan teman sejawat. Ada kecenderungan bahwa mahapeserta didik bersikap skeptis ketika dosen menggunakan bahasa target dalam memberikan perkuliahan TEFL, sehingga mereka kurang mampu berkonstrasi dalam belajar, tidak memperhatikan penjelasan dosen, dan cenderung out of tune.
[6] Ellis, Teacher-Pupil Interaction in Second Language Development, (In Gass & Madden, 1985), 69-85.

[7] Ramanathan  & Atkinson, “Ethnographic Approaches and Method in L2 Writing Research: A Critical Guide and Review”, (Applied Linguistics, 1999),  20/1,46

[8] Moskowitz, “Interaction Analysis: A New Modern Language for Supervisors,(Foreign Language Annals, 1971), 5:213.

[9] Krashen, Principles and Practice in Second Language Acquisition, ( Oxford: Pergamon, 1982),  67.
[10] Long & Sato, Classroom Foreigner Talk Discourse: Forms and Functions of Teachers’ Questions, (In Seliger & Long, 1983), 268.
[11] Gass, Input, Interaction and the Second Language Learner. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum, 1997), 128.
[12] Chaudron, Ibid., 1988, 34.
[13] Nunan, Language Teaching Methodology: A text Book for Teachers, (Cambridge: CUP, 1991),

[14] Cullen, Teacher Talk and the Classroom Context.” (ELT Journal, 1998), 52/3: 180.
[15] Jack C. Richards, The Context of Language Teaching, (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 471.

[16] Chaudron, (88)
[17] Chaudron (1988)
[18] Chaudron (1988:128)
[19] Urano (1998:9)
[20] Kelch (1985)
[21] Chaudron (1988:85)
[22] Griffiths (1990)
[23] Griffiths (1992)
[24] Owen (1996)
[25] Lin (2005)
[26] Giouroukakis (2008)

Komentar